“Fir-Ar-Rafiqil A’la … Fir-Ar-Rafiqil A’la … Fir-Ar-Rafiqil A’la …”.
Itulah kata terakhir yang terus menerus diucapkan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam di atas pangkuan istri yang paling dicintainya, Aisyah, hingga ajal menjemput kekasih Allah ini. Kata ini memiliki beberapa pengertian namun sebagian besar sepakat mengartikannya dengan « Handai Tertinggi’”. Demikianlah Rasulullah menemui Sang Khalik, Allah Subhanahu wa Ta'ala, yang telah mengutus hamba pilihan-Nya menyampaikan pesan-Nya kepada kita, umat manusia.
Betapa menyesalnya perasaan Abu Bakar karena tidak menunggui dan menemani detik-detik akhir sahabat sekaligus nabi Allah yang amat dicintainya itu. Ia sedang berada di rumah istrinya di luar kota ketika mendengar kabar wafatnya Rasulullah. Ia dan juga para sahabat sama sekali tidak pernah menduga bahwa kemunculan seraut wajah yang dipenuhi senyum kebahagiaan di saat Abu Bakar sedang memimpin shalat subuh dari balik tirai itu adalah merupakan tanda pamit Rasulullah kepada para sahabat. Senyum itu cerminan perasaan puas Sang Nabi bahwa umatnya telah dapat melaksanakan shalat dengan baik. Yang dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk khawatir meninggalkan umatnya.
Abu Bakar segera memacu kudanya menuju rumah Aisyah ra. Tanpa berbicara sedikitpun ia langsung masuk kamar dimana jenazah Rasulullah telah terbujur kaku. Perlahan disingkapnya kain yang menutup wajah Rasul, lalu didekap dan diciumnya sahabatnya itu. Dengan menangis, ia berkata :“Ayah dan ibuku jadi tebusanmu. Allah tidak akan mengumpulkan pada dirimu dua kematian. Adapun kematian yang telah ditetapkan atasmu maka hal itu telah engkau jalani”.
Kemudian Abu Bakar keluar. Disana dilihatnya Umar bin Khattab tengah berbicara kepada orang-orang, meyakinkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam tidak meninggal melainkan sedang pergi menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa bin Imran dulu pernah dipanggil-Nya.
“Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. telah wafat. Tetapi, demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa bin ‘Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!”
“Tunggu sebentar, wahai Umar. Diamlah”, tegur Abu Bakar. Namun sahabatnya ini tidak menggubrisnya dan terus berbicara emosional. Melihat Umar tidak mau mendengarkannya, Abu Bakar kemudian pergi menemui orang-orang yang tampak kebingungan. Orang-orang ini lalu meninggalkan Umar dan ganti mengerumuni Abu Bakar.
“Amma ba’du. Wahai manusia ! Barangsiapa diantara kalian menyembah Muhammad maka ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan barangsiapa menyembah Allah maka sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati. Allah berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS.Ali Imran (3):144).
Mendengar itu, serentak semua orang yang hadir ikut membaca ayat diatas. Demikian pula Umar bin Khattab. Suatu saat Umar bin Khattab berujar : “ Demi Allah, setelah kudengar Abu Bakar membaca ayat tersebut, aku merasa tidak berdaya. Kedua kakiku lemas sehingga aku jatuh terduduk ke tanah”. (HR. Ibnu Ishaq, Bukhari).
Demikianlah Allah Subhanahu wa Ta'ala mengakhirkan hidup dan perjuangan nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang selama hampir 23 tahun mengajak seluruh masyarakatnya agar menyembah hanya kepada Tuhan Yang Satu yaitu , Allah Subhanahu wa Ta'ala. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam wafat pada tahun 11 H, tepat pada hari dan tanggal beliau dilahirkan yaitu pada hari Senin, 12 Rabi’ul Awwal, dalam usia 63 tahun.
Bukhari meriwayatkan dari Amr ibnu Harits, ia berkata “ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak meninggalkan satupun dinar atau budak lelaki ataupun budak perempuan selain dari bhagalnya yang putih yang biasa ditungganginya dan senjata serta tanah yang sudah diikrarkan menjadi sedekah bagi ibnus sabil”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamtelah bersabda, “ Aku adalah pemimpin anak Adam di hari Kiamat dan yang pertama kali keluar dari bumi. Aku adalah pemberi syafaat pertama dan yang pertama diterima syafaatnya”. (HR.Muslim).
Seperti dikisahkan dalam kitab Daqaiq Al-Akhbar :
Ketika alam ini dalam keadaan sunyi karena semua makhluk Allah telah mati, maka Allah menghidupkan malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail. Mereka lalu diperintahkan Allah untuk mencari kuburan Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Setelah mereka menemukan makam beliau, maka malaikat Israil memanggilnya, ‘Wahai Muhammad, bangunlah untuk memutuskan hukum dan hisab serta untuk menghadap Zat Yang Maha Penyayang.’
Akhirnya pecahlah kubur tersebut, ketika itu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam duduk dalam kuburnya sedang membersihkan debu dari kepala dan jenggotnya. Lalu malaikat Jibril memberikan kepada beliau dua pakaian dan kendaraaan Buraq. Selanjutnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bertanya kepada Jibril, ‘Wahai Jibril, hari apa ini?’Jibril menjawab, ‘Ini adalah hari kiamat, hari kerugian, hari penyesalan, hari Buraq, hari berpisah dan hari bertemu.’
Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, “ Wahai Jibril, gembirakanlah aku”. Jibril berkata, ‘Surga benar-benar telah dihias karena kedatanganmu, neraka telah ditutup”. Rasulullah berkata kepada Jibril, ‘Aku tidak bertanya tentang hal tersebut tetapi aku meminta penjelasan kepadamu tentang umatku yang banyak berdosa, barangkali kamu meninggalkan mereka di Shirat (Jembatan penyebrangan yang ada diatas neraka)”. Israfil menjawab, ”Wahai Muhammad, demi kemuliaan Tuhanku, aku belum meniup Sangkakala untuk membangkitkan makhluk Allah sebelum kamu bangkit lebih dahulu”. Selanjutnya beliau berkata, ‘Sekarang hatiku bahagia dan menjadi segar mataku.’ Kemudian Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengambil mahkota dan pakaian, setelah memakai mahkota dan pakaian beliau lalu naik Buraq.
Sungguh, betapa beruntungnya kita sebagai umat Islam. Karena nabinya sangat memikirkan umatnya. Menjelang wafat, meski dalam keadaan sakit keras, Rasulullah menyempatkan diri menengok umatnya. Begitupun ketika dibangunkan dari kubur. Yang pertama ditanyakan adalah nasib umatnya. Maka dapat dibayangkan bagaimana kecewanya perasaan Rasulullah bila mendapati umat yang amat dicintainya itu ternyata tidak melaksanakan ajakan beliau.
Pemakaman Rasulullah dilakukan pada Rabu, 14 Rabiul’awwal. Ini berarti lewat 2 hari setelah wafatnya beliau. Sejumlah pihak, terutama musuh-musuh Islam memang mempermasalahkan hal yang diluar kelaziman ini. Namun ada beberapa alasan mengapa pemakaman tidak dilakukan sesegera mungkin, sebagaimana mustinya.
Sejarah menceritakan bahwa begitu kabar wafatnya Rasulullah tersiar terjadi kelompok-kelompok kerumunan massa yang masing-masing ingin menjadikan anggota kelompoknyalah yang menggantikan kedudukan Rasulullah. Nyaris terjadi perpecahan bila saja Abu Bakar ra tidak segera turun tangan. Kaum Anshar dan kaum Muhajirin akhirnya sepakat membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin. Sebagai catatan, Rasulullah memang tidak pernah menunjuk seorangpun secara resmi, pasti dan jelas siapa yang berhak memimpin umat Islam sepeninggal beliau. Namun sejumlah tanda menunjukkan bahwa Rasulullah sebenarnya menghendaki Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin. Beliau mengetahui bahwa inilah yang bakal diterima oleh semua kalangan dan lapisan Muslimin.
Setelah hal ini dapat diatasi, muncul masalah baru, yaitu dimana Rasulullah harus dimakamkan. Ketika itu berkembang beberapa pendapat yaitu Mekah, Madinah atau Baitul-Maqdis di Yerusalem, Palestina. Yang terakhir ini muncul dengan alasan karena para nabi sebelumnya dimakamkan di tempat tersebut.
Akhirnya Abu Bakar memberikan keputusannya dengan mengatakan: “Aku dengar Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkata, setiap ada nabi meninggal, ia dimakamkan di tempat ia meninggal.”
“Setiap Nabi yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai dikubur padanya” .Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat pembaringannya”. (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no:5649, dan Tirmidzi II : 242 no:1023).
Setelah tercapai kata sepakat, selanjutnya Rasulullah dimandikan. Ali bin Abi Thalib sebagai wakil keluarga yang bertindak memandikan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Ia dibantu oleh Abbas bin Abdul-Muttalib dan kedua puteranya, Fadzl dan Qutham serta Usama bin Zaid dan Syuqran, pembantu Nabi. Ketika itulah mereka dapati betapa harumnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, sehingga Ali berkata: “Demi ibu bapaku! Alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan di waktu mati”.
Selesai dimandikan dengan mengenakan baju yang dipakainya itu, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dikafani dengan tiga lapis pakaian: dua Shuhari dan satu pakaian jenis burd hibara dengan sekali dilipatkan. Selesai penyelenggaraan dengan cara demikian, jenazah diletakkan tetap pada tempatnya. Pintu-pintu kemudian dibuka untuk memberikan kesempatan kepada kaum Muslimin, yang memasuki tempat itu dari jurusan mesjid, untuk mengelilingi serta melepaskan pandangan perpisahan dan memberikan doa shalawat kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Kemudian mereka keluar lagi dengan membawa perasaan duka dan kepahitan yang teramat sangat mendalam. Sungguh berat terasa perpisahan ini.
Selanjutnya, Abu Bakr dan Umar masuk untuk melakukan shalat jenazah bersama para sahabat, tanpa ada yang bertindak selaku imam dalam shalat tersebut. Setelah itu, kaum Muslimin kembali duduk mengelilingi jenazah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Dalam keadaan sunyi dan hening itu, Abu Bakr kemudian berkata:
“Salam kepadamu ya Rasulullah, beserta rahmat dan berkah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kami bersaksi, bahwa Nabi dan Rasulullah telah menyampaikan risalah-Mu, telah berjuang di jalan Allah sampai Kau berikan pertolongan untuk kemenangan agama. Ia telah menunaikan janjinya dan menyuruh orang menyembah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Dengan penuh syahdu dan khusyu’, maka kaum Musliminpun menyambut setiap ucapan yang keluar dari Abu Bakar itu dengan “ Amin … Amin … Amin … !
Selanjutnya giliran kaum perempuan masuk untuk menshalati jenazah Rasulullah. Dengan khidmat mereka shalat dan mendoakan nabi yang begitu mereka cintai itu. Sungguh pilu perasaan mereka ditinggalkan orang yang selama ini menjadi panutan dan imam yang penuh kasih sayang, perhatian dan lembut. Tak ketinggalan anak-anakpun menshalati Rasulullah.
Sekarang tibalah saatnya untuk memakamkan jenazah Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, mahluk Allah yang paling mulia di muka bumi ini. Sungguh bukan hal yang mudah bagi keluarga maupun para sahabat dan kaum Muslimin untuk melakukan hal ini. Hingga Fathimah ra, putri kesayangan satu-satunya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam ini berkata kepada Anas bin Malik : Apakah jiwamu rela menaburkan tanah diatas jasad Rasulullah shallallahu’alayhiwasallam? [HR Bukhari].
Orang-orang diam membisu, tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Seolah jiwa mereka ikut pergi melayang bersama ruh orang yang begitu mereka cintai dan hormati itu. Tidak relakah mereka sang nabi pergi menemui Tuhannya ? Tuhan yang telah mengutus nabinya agar memberi peringatan sekaligus berita gembira kepada seluruh hamba di muka bumi ini ? Dan setelah tugas itu usai memberi Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam pilihan ; untuk menemui Sang Pemberi Mandat atau tetap di dunia yang fana ini, bersama orang-orang yang dicintai dan mencintainya dengan segenap jiwa dan raganya? Padahal sang nabi itu sendiri telah menjatuhkan pilihan pada pilihan pertama, yaitu kembali kepada Sang Khalik yang begitu dirindukannya ?
Tampaknya, kalau saja Abu Bakar tidak mengingatkan ayat bahwa Muhammad hanyalah manusia biasa yang pada saatnya harus kembali kepada-Nya, kaum Muslimin ingin sekali lebih mempercayai perkataan Umar bin Khattab. Bahwa sang rasul hanya pergi untuk beberapa waktu dalam rangka menemui Tuhannya yang kemudian akan kembali lagi menemui para sahabat, seperti halnya nabi Musa as.
Di antara orang yang membisu diam adalah Utsman bin Affan yang terus mondar-mandir tanpa mampu bertutur kata. Sementara Ali bin Abi Thalib hanya bisa terduduk lesu, tidak mampu bergerak. Adapun Abdullah bin Unais, ia sakit parah hingga meninggal karena duka yang begitu mendalam.
Namun akhirnya Allah Subhanahu wa Ta'ala turun tangan. Dibukanya hati kaum Muslimin agar menerima kenyataan ini. Setelah melalui sedikit perselisihan cara menggali kubur bagaimana yang akan dipilih, akhirnya diputuskanlah cara Madinah. Yaitu menggali tanah kubur dengan dasarnya yang dilengkungkan. Orang Makkah menggalinya dengan dasar yang diratakan.
Dengan cara itulah maka dikebumikan jasad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang suci tersebut. Tepat di tempat Rasulullah menghembuskan nafas terakhir beliau dan dimandikan yaitu di kamar Aisyah. Umat Islam sekarang mengenalnya dengan apa yang disebut Raudhah yang berarti taman surga. Di atas makam tersebut lalu dipasang bata merah kemudian ditimbun dengan tanah. Upacara pemakaman itu terjadi pada malam Rabu 14 Rabiulawal, yakni dua hari setelah Rasul berpulang ke rahmatullah.
Aisyah berkata: “Kami mengetahui pemakaman Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setelah mendengar suara-suara sekop pada tengah malam itu“. Fatimah juga berkata seperti itu.
Baca juga :
Kembali ke menu daftar isi