Makin
hari sakit Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam makin bertambah berat. Namun demikian beliau
tetap memimpin shalat berjamaah di masjid bersama para sahabat, meski
usai shalat tidak seperti dahulu ketika sehat, yaitu duduk dikelilingi
para sahabat sambil memberikan tausiyah. Rasulullah kini langsung
pulang, masuk kamar dan beristirahat.
Dalam keadaan sakit keras seperti itulah
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam kemudian menutupi wajahnya dengan kain. Apabila dirasakan
sakit sekali maka beliau membuka wajahnya lalu bersabda: “Semoga laknat Allah ditimpahkan ke atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid“. (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Ini adalah isyarat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam agar kaum Muslimin tidak melakukan tindakan seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu menjadikan makam atau kuburan sebagai tempat ibadah atau masjid.
Beberapa hari kemudian, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun ke 11 H atau 8 Juni 632 M, ketika para sahabat sedang menunaikan shalat Subuh ber-jamaah, tirai kamar Aisyah yang letaknya memang menempel dengan masjid dimana para sahabat biasa shalat, tiba-tiba tersingkap. Dari balik tirai tersebut muncul seraut wajah Rasulullah dengan senyuman tersungging di bibir.
Betapa gembiranya para sahabat menyaksikan pemandangan tersebut. Mereka bahkan nyaris menangguhkan shalat saking antusiasnya ingin menyambut sang pemimpin yang begitu mereka cintai itu. Mengira bahwa Rasulullah akan shalat, Abu Bakarpun menggeser tubuhnya, untuk memberi tempat kepada Rasulullah. Namun Rasulullah segera memberi tanda agar Abu Bakar meneruskan shalatnya. Kemudian Rasulullah masuk kembali ke kamar.
Selanjutnya karena menyangka Rasulullah telah pulih kembali, dengan hati lega para sahabatpun bergegas meninggalkan masjid untuk mengurus segala keperluan yang selama ini agak terbengkalai.
Demikian pula Abu Bakar. Ia meminta izin untuk pulang ke rumahnya di Sunuh.
Sebaliknya, sebenarnya Rasulullah telah mengetahui bahwa saat-saat terakhir beliau telah tiba. Para sahabat tidak menyadari bahwa senyum Rasulullah yang mereka lihat itu adalah isyarat pamit Rasulullah yang tampak puas menyaksikan umatnya telah mampu mendirikan shalat Subuh berjamaah dengan tertib. Selanjutnya Rasulullah merebahkan diri ke atas pangkuan Aisyah, siap menghadapi sakratul maut. Aisyah berkata : “ Saat itu, di hadapan beliau terdapat bejana berisi air. Kemudian Rasulullah memasukkan tangan beliau ke dalam bejana dan mengusapkannya ke wajah beliau seraya berkata : “La ilaha illallah. Sesungguhnya kematian itu mempunyai sekarat”. (HR. Bukhari).
Aisyah menceritakan,“Ketika aku sedang memangku Rasulullah, tiba-tiba Abdurahman masuk dengan membawa siwak ditangan. Aku melihat Rasulullah terus menerus menatap siwak tersebut hingga aku tahu kalau beliau menginginkannya. Aku tanya “Kuambilkan untukmu?” Setelah memberi isyarat‘ya’, lalu kuberikan siwak itu. Karena siwak terlalu keras, kutawarkan untuk melunakkannya dan beliau member isyarat setuju. Beliau kemudian memasukkan ke dua tangannya ke dalam bejana berisi air yang ada di hadapannya lalu mengusap wajahnya seraya berucap : “Fir-Rafiqil A’la’, sampai beliau wafat dan tangannya lunglai”. (HR.Bukhari).
Aisyah berkata, “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Handai Tertinggi dari surga“. “Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.(QS.Al-Anbiya(21):34-35).
Baca juga :
Kembali ke menu daftar isi
Ini adalah isyarat dari Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam agar kaum Muslimin tidak melakukan tindakan seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu menjadikan makam atau kuburan sebagai tempat ibadah atau masjid.
Beberapa hari kemudian, yaitu pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun ke 11 H atau 8 Juni 632 M, ketika para sahabat sedang menunaikan shalat Subuh ber-jamaah, tirai kamar Aisyah yang letaknya memang menempel dengan masjid dimana para sahabat biasa shalat, tiba-tiba tersingkap. Dari balik tirai tersebut muncul seraut wajah Rasulullah dengan senyuman tersungging di bibir.
Betapa gembiranya para sahabat menyaksikan pemandangan tersebut. Mereka bahkan nyaris menangguhkan shalat saking antusiasnya ingin menyambut sang pemimpin yang begitu mereka cintai itu. Mengira bahwa Rasulullah akan shalat, Abu Bakarpun menggeser tubuhnya, untuk memberi tempat kepada Rasulullah. Namun Rasulullah segera memberi tanda agar Abu Bakar meneruskan shalatnya. Kemudian Rasulullah masuk kembali ke kamar.
Selanjutnya karena menyangka Rasulullah telah pulih kembali, dengan hati lega para sahabatpun bergegas meninggalkan masjid untuk mengurus segala keperluan yang selama ini agak terbengkalai.
Demikian pula Abu Bakar. Ia meminta izin untuk pulang ke rumahnya di Sunuh.
Sebaliknya, sebenarnya Rasulullah telah mengetahui bahwa saat-saat terakhir beliau telah tiba. Para sahabat tidak menyadari bahwa senyum Rasulullah yang mereka lihat itu adalah isyarat pamit Rasulullah yang tampak puas menyaksikan umatnya telah mampu mendirikan shalat Subuh berjamaah dengan tertib. Selanjutnya Rasulullah merebahkan diri ke atas pangkuan Aisyah, siap menghadapi sakratul maut. Aisyah berkata : “ Saat itu, di hadapan beliau terdapat bejana berisi air. Kemudian Rasulullah memasukkan tangan beliau ke dalam bejana dan mengusapkannya ke wajah beliau seraya berkata : “La ilaha illallah. Sesungguhnya kematian itu mempunyai sekarat”. (HR. Bukhari).
Aisyah menceritakan,“Ketika aku sedang memangku Rasulullah, tiba-tiba Abdurahman masuk dengan membawa siwak ditangan. Aku melihat Rasulullah terus menerus menatap siwak tersebut hingga aku tahu kalau beliau menginginkannya. Aku tanya “Kuambilkan untukmu?” Setelah memberi isyarat‘ya’, lalu kuberikan siwak itu. Karena siwak terlalu keras, kutawarkan untuk melunakkannya dan beliau member isyarat setuju. Beliau kemudian memasukkan ke dua tangannya ke dalam bejana berisi air yang ada di hadapannya lalu mengusap wajahnya seraya berucap : “Fir-Rafiqil A’la’, sampai beliau wafat dan tangannya lunglai”. (HR.Bukhari).
Aisyah berkata, “Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku. Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata, “Ya Handai Tertinggi dari surga“. “Kataku, ‘Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih. Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.’ Maka Rasulullah pun berpulang sambil bersandar antara dada dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad), maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.(QS.Al-Anbiya(21):34-35).
Baca juga :
Kembali ke menu daftar isi
Suatu hari, ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sudah tidak kuat lagi keluar untuk mengimami shalat maka beliau bersabda: “Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami shalat.“ Aisyah ra menyahut: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Bakar seorang yang lembut. Ia suka menangis kalau sedang membaca Qur’an. Jika dia menggantikanmu maka suaranya tidak dapat didengar oleh orang“. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Kalian memang seperti perempuan-perempuan Yusuf. Perintahkan Abu Bakar supaya mengimami shalat jama‘ah“. Maka Abu Bakarpun keluar dan bertindak sebagai Imam shalat jama‘ah, menggantikan Rasulullah yang makin hari makin terlihat lemah.
Waktu terus berlalu. Sakit Rasulullah makin hari makin bertambah. Beliau mengalami demam sangat tinggi. Setiap hari para sahabat bergantian datang menjenguk. Demikian pula Fatimah, satu-satunya putri Rasulullah. Setiap kali datang menjenguk, diciumnya putri kesayangan tersebut. Namun suatu hari ketika sakit Rasul makin berat, Fatimahlah yang mencium ayahnya tercinta.
“Selamat datang, puteriku“, sambut Rasul. Dengan wajah menahan duka Fatimahpun duduk disamping ayahnya. Tak lama kemudian Rasul membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah. Seketika Fatimah tertawa. Wajahnya langsung berubah cerah. Tetapi beberapa saat kemudian setelah Rasulullah kembali membisikan sesuatu, Fatimahpun menangis sedih.
Aisyah kemudian bertanya, apa yang dikatakan ayahnya itu. Fatimah hanya menjawab pendek : ”Aku tidak akan membuka rahasia ayahku “.
Di kemudian hari, setelah Rasulullah wafat, Fatimah mengatakan, bahwa ayahnya membisikkan kata bahwa dirinya adalah orang pertama dari pihak keluarga yang akan menyusul Rasulullah wafat. Itu sebabnya ia tertawa. Selanjutnya ketika Rasulullah berbisik bahwa beliau akan wafat disebabkan sakitnya itu, iapun tak tahan untuk tidak menangis.
Selama beberapa hari kemudian, Rasulullah menggigil hebat. Tubuhnya mengalami demam sangat tinggi. Oleh karenanya sebuah bejana berisi air dinginpun diletakkan disamping Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Sekali-sekali beliau memasukkan tangan beliau ke dalam air tersebut lalu mengusapkannya ke muka. Saking tingginya suhu tubuh Rasulullah, kadang beliau sampai tak sadarkan diri. Tak lama setelah itu beliaupun sadar kembali dengan keadaan yang begitu payah.
Karena perasaan sedih yang sungguh menyayat hati, suatu hari Fatimah berkata mengenai penderitaan ayahnya itu: “Alangkah beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,” jawab nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, berusaha menenangkan putri kesayangan satu-satunya itu .
Suatu hari, Rasulullah meminta Aisyah agar memanggil ayahnya datang. Aisyah ra berkata: “Pada waktu sakit, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pernah berkata kepadaku:‘Panggillah kemari Abu Bakar, bapakmu dan saudaramu, sehingga aku menulis sesuatu wasiat. Sebab aku khawatir ada orang yang berambisi mengatakan: “Aku lebih berhak“, padahal Allah dan orang-orang Mukmin tidak rela kecuali Abu Bakar”.
Sementara itu, Ibnu Abbas meriwayatkan : “Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sedang sakit keras, beliau bersabda kepada orang-orang yang ada di dalam rumah: ‘Kemarilah aku tuliskan sesuatu wasiat buat kalian di mana kalian tidak akan sesat sesudahnya’. Kemudian sebagian mereka berkata, ‘Sesungguhnya Rasululah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam keadaan sakit keras sedangkan di sisi kalian ada Al-Quran, cukuplah bagi kita Kitab Allah’. Maka timbullah perselisihan diantara orang-orang yang ada di dalam rumah. Diantara mereka ada yang berkata: ‘Mendekatlah, beliau hendak menulis suatu wasiat buat kalian di mana kalian tidak akan sesat sesudahnya’. Diantara mereka ada juga yang mengatakan selain itu. Mendengar perselisihan itu bertambah sengit dan gaduh akhirnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda: “Pergilah kamu sekalian! Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi.”
Berita sakitnya Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang dari hari ke hari makin bertambah itu telah diketahui oleh seluruh penduduk Madinah. Usama dan pasukannya yang selama itu menunggu di Jurf akhirnya juga mendengar berita tersebut. Maka Usamapun memutuskan untuk pulang dan segera menjenguk Rasulullah. Betapa sedihnya Usama ketika dilihatnya, Rasulullah tidak lagi mampu mengeluarkan suara. Sebaliknya begitu melihat orang yang dicintai datang menjenguk, Rasulullah mengangkat tangan beliau dan meletakannya di bahu Usama, tanda bahwa beliau sedang mendoakannya.
Beberapa waktu kemudian,menyadari bahwa waktunya telah makin mendekat, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bertanya kepada Aisyah : “Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu? “.
Ketika sakit Rasulullah makin bertambah parah, beliau, yang hanya memiliki harta tujuh dinar di tangan itu, memang telah meminta Aisyah agar menyedekahkan uang tersebut. Namun karena kesibukannya mengurus dan merawat sang suami tercinta, tampaknya Aisyah lupa melaksanakan permintaan Rasulullah. Dengan menyesal Aisyah menunjukkan uang yang masih ada di tangannya.
“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhannya, sekiranya ia menghadap Allah, sedang ini masih di tangannya”, begitu komentar Rasul sambil memegang uang yang baru saja diserahkan kembali oleh Aisyah itu. Kemudian segera beliau membagikan uang tersebut kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.
Malamnya, panas tubuh Rasulullah agak berkurang. Karena merasa agak sehat maka subuh esok paginya beliau turun dari pembaringannya. Dengan berikat kepala dan bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadzl bin’l-’Abbas, beliau keluar menuju masjid untuk shalat subuh berjamaah. Disana beliau mendapati Abu Bakar sedang mengimami shalat. Melihat kedatangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, Abu Bakar segera mundur. Namun Rasulullah memberi isyarat agar ia terus melanjutkan memimpin shalat. Selanjutnya Rasulullah duduk di sebelah kanan Abu Bakar lalu melakukan shalat, bermakmum kepada Abu Bakar, bersama para sahabat yang tetap berdiri melanjutkan shalat.
Betapa gembiranya para sahabat melihat Rasulullah kembali dapat shalat bersama mereka. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa shalat tersebut merupakan shalat terakhir mereka bersama orang yang paling mereka cintai. Mereka bahkan menyangka Rasulullah telah sehat dan pulih kembali. Padahal sebenarnya sakit Rasulullah semakin bertambah serius.
Ibnu Mas‘ud meriwayatkan: “Aku pernah masuk membesuk Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika beliau sedang sakit keras, lalu aku pegang beliau dengan tanganku seraya berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengalami demam panas sekali’. Jawab Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam: ‘Ya, demam yang kurasakan sama dengan yang dirasakan oleh dua orang dari kalian (dua kali lipat).’ Aku katakan: ‘Apakah hal ini karena engkau mendapatkan dua pahala?’ Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menjawab: ‘Ya, tidaklah seorang Muslim menderita sakitnya itu kesalahan-kesalahannya sebagaimana daun berguguran dari pohonnya’“. (HR. Muttafaq ‘Alaih).