"Allah
menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu
ambil, maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan
tangan manusia dari (membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan
agar hal itu menjadi bukti bagi orang-orang mu’min dan agar Dia
menunjuki kamu kepada jalan yang lurus”.(QS.Al-Fath(48):20).
Ayat di atas turun ketika Rasulullah
dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah menuju Madinah, beberapa saat
setelah ditanda-tanganinya perjanjian Hudaibiyah. Yang dimaksud harta
rampasan perang yang banyak pada ayat di atas itu adalah kemenangan
Muslimin pada perang Khaibar. Khaibar adalah kota terbesar Yahudi yang
banyak memiliki benteng dan ladang-ladang kurma. Tanah kota tersebut
memang dikenal amat subur, airnya berlimpah dan berbagai buah tumbuh
dengan mudah di tanah ini. Kota yang merupakan benteng utama Yahudi ini
terletak sekitar 165 km utara Madinah arah Syam.
Janji Allah Subhanahu wa ta'ala sendiri akan harta
rampasan yang banyak itu adalah sebagai bentuk kasih sayang dan
penghargaan-Nya akan kesabaran kaum Muslimin dalam menghadapi kebencian
dan permusuhan musuh-musuh Islam seperti kaum Musryik Mekah dan Yahudi
selama ini. Dan puncaknya adalah perang Hudaibiyah.
Baca juga : Perdamaian hudaibiyah dan baitur ridwan
Mendengar janji tersebut, orang-orang
Munafik Madinah yang selama ini tidak pernah ikut terlibat dalam
peperangan Islam, tiba-tiba meminta izin untuk ikut berperang. Namun
Rasulullah tidak mengabulkan permohonan tersebut. Rasulullah hanya
mengizinkan berperang para sahabat yang pernah ikut berperang membela
Islam dan tujuannya bukan untuk mencari harta rampasan saja.
“Orang-orang Badwi yang tertinggal
itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan:
“Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu; mereka hendak merubah
janji Allah. Katakanlah: “Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami:
demikian Allah telah menetapkan sebelumnya”; mereka akan mengatakan:
“Sebenarnya kamu dengki kepada kami”. Bahkan mereka tidak mengerti
melainkan sedikit sekali. ”.(QS.Al-Fath(48):15).
Maka pada tahun 629 M, dengan membawa
1400 pasukan, mereka adalah para sahabat yang ikut dalam perjanjian
Hudaibiyah, berangkatlah Rasulullah memimpin pasukannya memasuki
Khaibar. Mereka berangkat dengan berjalan kaki dan berkuda. Ini adalah
perang pertama kaum Muslimin yang terjadi setelah adanya perjanjian
Hudaibiyah. Ini juga adalah perang pertama dimana kaum Muslimin datang
menyerang terlebih dahulu. Karena sebelumnya pasukan Muslim hanya
bertahan.
Rasulullah sengaja memilih jalur melalui
Ar-Raji’, daerah antara perkampungan kaum Gathafan dan Khaibar. Kaum
Gathafan adalah sekutu Yahudi yang selama ini selalu membantu Yahudi
dalam memusuhi Islam. Dan kali inipun mereka sebenarnya memang telah
berniat hendak membantu sekutunya itu. Namun nyatanya begitu mendengar
kabar bahwa pasukan Rasulullah melewati perkampungan mereka, nyali
merekapun jadi menciut. Akhirnya mereka membatalkan pertolongan mereka.
Dari Abu Muattib bin Amr ia berkata,
‘Ketika Rasulullah melihat Khaibar, beliau berkata kepada para sahabat ketika itu aku bersama mereka, ‘Berdirilah kalian!’. Rasulullah
berkata, ‘Ya Allah, Rabb langit dan Rabb segala yang dinaunginya,
Rabb bumi dan Rabb apa saja yang diangkutnya, Rabb setan dan apa saja
yang dianutnya, Rabb angin dan Rabb apa saja yang diterbangkannya,
sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini, penduduknya,
dan apa yang ada di dalamnya. Aku berlindung diri kepadaMu dari
keburukan kampung ini, penduduknya, dan yang ada di dalamnya. Majulah
kalian dengan nama Allah!’ Doa tersebut selalu diucapkan beliau setiap
kali beliau memasuki per-kampungan”.
Tidak mudah menaklukkan Khaibar. Kota
benteng ini memiliki sistim pertahanan berlapis-lapis. Setiap benteng
memiliki fungsi masing-masing. Perempuan dan anak-anak ditempatkan di
sebuah benteng bernama Watih. Harta benda disimpan di benteng Sulaim.
Sementara persediaan makanan dan pasukan perang yang jumlahnya ribuan
itu menempati benteng lain. Bahkan Yahudi Madinahpun melecehkan
kemampuan pasukan Islam melumpuhkan Yahudi Khaibar. Namun bagi para
sahabat kemenangan bukanlah banyak atau sedikitnya jumlah pasukan atau
canggih tidaknya peralatan. Kemenangan adalah pertolongan Allah, Sang
Penguasa Langit dan Bumi.
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian
bala-bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi (kemenangan) mu,
dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu hanyalah dari
Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS.Ali Imran(3):126).
“Orang-orang yang meyakini bahwa
mereka akan menemui Allah berkata: “Berapa banyak terjadi golongan yang
sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar”.(QS.Al-Baqarah(2):249).
Mulanya Rasulullah menempatkan Abu Bakar
ra sebagai pemegang panji. Namun pasukan ini tidak berhasil membobol
pertahanan Yahudi. Kemudian Rasulullah mengutus Umar bin Khattab ra
untuk menggantikan Abu Bakar. Tidak berhasil juga. Akhirnya Rasulullah
memerintahkan Ali bin Abu Thalib ra untuk keluar.
“Dimana Ali?”, tanya Rasulullah ketika Ali tidak dilihatnya diantara para sahabat.
“Wahai Rasulullah, Ali sedang sakit mata”, jawab para sahabat.
« Panggil dia », perintah Rasulullah.
Setelah Ali tiba dengan mengucap doa,
Rasulullah segera meniup mata Ali yang sedang sakit itu dengan kedua
ludah beliau. Seketika itu sembuhlah mata Ali. Allahuakbar ..
Kemudian Rasulullah menyerahkan panji perang kepada Ali.
“Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti kita (Muslim) ?”, tanya Ali.
“Kerjakanlah ! Tetapi jangan
tergesa-gesa. Tunggu sampai engkau tiba di halaman mereka. Setelah itu,
ajaklah mereka memeluk Islam dulu dan beritahukan kepada mereka
kewajiban-kewajiban apa yang harus mereka lakukan terhadap Allah. Demi
Allah, jika Allah memberi hidayah kepada seorang diantara mereka melalui
engkau, itu lebih baik daripada engkau memperoleh nikmat berupa unta
merah », tegas Rasulullah.
(Unta merah bagi masyarakat Mekah ketika itu adalah suatu dambaan).
Begitulah prinsip perang dalam Islam.
Perang bukan cara mendapatkan kemenangan dan kemegahan. Perang adalah
hal terakhir yang dilakukan ketika orang tetap berkeras menolak
menyembah Sang Khalik. Itupun bila mereka selalu menghalangi dan
menghambat kemajuan Islam. Dan setelah dikalahpun tidak ada paksaan bagi
mereka untuk berpindah agama selama mereka mau tunduk terhadap hukum
Islam tentunya.
Semula pertempuran terjadi kurang seru karena pasukan Yahudi tidak
mau keluar dari bentengnya. Mereka tetap bertahan didalam
benteng-benteng kokohnya. Hingga akhirnya benteng demi benteng berhasil
direbut pasukan Muslimin kecuali benteng Watih dan Sulaim yang merupakan
benteng terakhir dan terkuat. Maka merekapun terpaksa keluar dan
perang satu lawan satupun tak dapat dihindarkan lagi.
Pertempuran berkecamuk hebat. Sepuluh
hari lamanya benteng Watih dan Sulaim dikepung. Kedua benteng ini
akhirnya jatuh setelah pasukan dibawah pimpinan Ali ini berhasil
memotong saluran air ke dalam benteng. Penduduk Khaibar terpaksa
menyerah dan berbondong-bondong keluar dari benteng pertahanan terakhir
mereka. Dengan perasaan suka rela mereka menyerahkan seluruh harta benda
yang mereka miliki termasuk ladang-ladang kurma yang luas, selama
permohonan mereka untuk diampuni dikabulkan.
Rasulullah mengabulkan permohonan
tersebut bahkan juga permohonan mereka agar diberi kesempatan untuk
tetap menggarap dan mengelola ladang dan kebun-kebun tersebut dengan
imbalan separuh dari hasil panen. “Dengan syarat, kalau kami hendak mengusir kalian, kalian harus bersedia kami usir”, tegas Rasulullah.
Sungguh, betapa mulianya akhlak
Rasulullah. Bandingkan dengan apa yang terjadi ketika Islam dikalahkan
di Andalusia, Spanyol. Ketika itu kaum Muslimin dipaksa berpindah agama
dan bila menolak mereka akan dibunuh atau diusir tanpa boleh membawa
apapun. Begitu juga yang dilakukan pasukan Romawi ketika mereka
mengalahkan musuh. Juga fenomena tanah Palestina di abad 21 ini. Kita
dapat menyaksikan bagaimana keji dan tidak adilnya perlakuan zionis
Israel terhadap kaum Muslimin di negri tersebut. Sungguh ironis
Selanjutnya kaum Yahudi tetap tinggal di
Khaibar dan menggarap ladang tersebut. Rasulullah membebaskan mereka
menjalankan kepercayaan dan hukum mereka sendiri. Mereka baru diusir
dari tanah tersebut pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab.
Itupun karena mereka berbuat kesalahan.
Usia perang, Rasulullah tinggal selama
beberapa hari di Khaibar. Disinilah beliau menikahi seorang perempuan
Yahudi bernama Shafiyah binti Huyaiy bin Akhtab, putri seorang pemimpin
Yahudi yang tertawan. Pembebasannya sebagai tawanan perang menjadi
mahar perkawinannya. Ketika itu ia diberi dua pilihan ; dibebaskan
kemudian diserahkan kembali kepada kaumnya atau dibebaskan kemudian
menjadi isteri Rasulullah. Ternyata Safiyah memilih pilihan kedua yaitu,
menjadi isteri Rasulullah.
Diceritakan bahwa Rasulullah melihat bekas kebiruan di pipi Shafiyah, “Apa ini?”Shafiyah menjawab, “Ya
Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib,
kemudian jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku,
Kinanah. Dia berkata, ‘Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang
datang dari Madinah?’ Kemudian dia menampar wajahku.”
Shafiyah menceritakan bahwa sejak kecil
ia telah mempelajari Taurat, kitab suci nenek moyangnya. Ia mendengar
bahwa suatu ketika akan datang seorang Rasul. Itu sebabnya ia tidak ragu
bahwa Muhammad adalah rasul yang diceritakan dalam kitab tersebut. Itu
pula sebabnya ia ridho menjadi istri beliau meski ayah dan suaminya
terbunuh dalam perang yang dipimpin Rasulullah itu.
Sementara dalam riwayat lain, diceritakan
bahwa seorang perempuan Yahudi bernama Zainab binti Harith berusaha
meracuni Rasulullah. Ia melakukan hal ini karena dendamnya terhadap
kematian suaminya yang terbunuh dalam perang Khaibar. Perempuan ini
mengirimkan sepotong daging domba yang telah dipoles dengan racun.
Rasulullah sempat mencicipinya namun kemudian memuntahkannya kembali.
Sebaliknya seorang sahabat bernama Bisyri bin Bara langsung menelannya
hingga iapun meninggal dunia, terkena racun yang sebenarnya ditujukan
kepada Rasulullah.
Dengan usainya perang Khaibar, setelah
ghanimah dibagi-bagikan dengan adil dan semua merasa puas maka usai pula
sejarah perlawanan Yahudi terhadap Islam. Pasukan Yahudi lain yang
tinggal di Wadil Qura, tidak jauh dari Madinah, memang sempat melakukan
pencegatan ketika rombongan Rasulullah melewati wilayah tersebut
sepulang dari penaklukkan Khaibar. Namun pasukan Islam berhasil
mematahkan serangan tersebut. Sebaliknya Yahudi Taima’ malah mengulurkan
tawaran damai tanpa melalui peperangan.
Dalam sebuah riwayat diceritakan ; Suatu
ketika dalam perjalanan dari Khaibar menuju Madinah, di salah satu akhir
malamnya, Rasulullah bersabda, ‘Siapa orang yang siap menunggu Shubuh untuk kita sehingga kita bisa tidur?’. Bilal berkata, ‘Aku siap menunggu Shubuh untukmu, wahai Rasulullah’.
Maka Rasulullahpun berhenti. Demikian
pula para sahabat, kemudian tidur. Sementara itu Bilal mengerjakan
shalat beberapa raka’at. Usai shalat, ia bersandar pada untanya untuk
menunggu waktu Shubuh, namun rasa kantuk menyerangnya dan ia pun
tertidur.
Akibatnya tidak ada seorangpun yang
membangunkan Rasulullah dan kaum muslimin melainkan sengatan sinar
matahari. Beliau orang yang pertama kali bangun. Kemudian Rasulullah
bersabda, ‘Apa yang engkau perbuat terhadap kita, hai Bilal?’ Bilal menjawab, ‘Wahai Rasulullah, aku tertidur sepertimu’. Rasulullah bersabda, ‘Engkau berkata benar’.
Rasulullah kemudian menuntun untanya
tidak terlalu jauh kemudian menghentikannya. Beliau berwudhu diikuti
kaum muslimin, lalu menyuruh Bilal mengumandangkan iqamah shalat dan
mengerjakan shalat bersama kaum muslimin. Setelah salam, Rasulullah
menghadap kepada para sahabat dan bersabda, ‘Jika kalian lupa shalat, shalatlah jika kalian telah ingat karena Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman, ‘Shalatlah karena ingat kepadaKu’.”