“Sesungguhnya telah ada pada
(diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang
yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia
banyak menyebut Allah”.(QS.Al-Ahzab(33):21).
Sebagai seorang Rasul sekaligus pemimpin
umat dan panglima perang sudah sewajarnya bila segenap perintahnya
dituruti dan dipatuhi. Suatu ketika pada tahun ke 6 setelah hijrah,
Rasulullah mengajak para sahabat untuk melaksanakan umrah ke Mekkah.
Ketika itu sebagian besar kaum Quraisy penduduk Mekkah belum mau
menerima ajaran Islam bahkan sangat memusuhi ajaran tersebut. Oleh
sebab itu mereka tidak mengizinkan Rasulullah beserta para pengikutnya
masuk ke kota tersebut walaupun hanya untuk sekedar melaksanakan umrah.
Tentu saja sebagian besar sahabat sangat kecewa dan tidak mau menerima
keputusan tersebut.
Mereka merasa bahwa mereka berniat
melakukan sesuatu yang di-ridhoi Allah Subhanahu wa ta'ala dan pasti Allah akan membela
mereka. Jadi mereka berkesimpulan mereka harus mengambil jalan
kekerasan. Namun apa yang dilakukan Rasulullah? Beliau justru menyetujui
untuk menanda-tangani sebuah kesepakatan yang intinya mereka tidak
mungkin melaksanakan umrah saat itu dan mereka harus mundur dan kembali.
Setelah kesepakatan tercapai, Rasulullah memerintahkan para sahabat
untuk menyembelih hewan kurban bawaan mereka serta bercukur layaknya
orang yang telah menunaikan ibadah umrah. Ternyata walaupun Rasulullah
telah mengulangi perintah tersebut hingga 3 kali tidak seorangpun
sahabat yang mentaatinya. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Tampak bahwa para sahabat benar-benar kecewa atas keputusan yang diambil
Rasulullah.
Lalu apakah kemudian Rasulullah marah dan
mengecam mereka? Tidak! Rasulullah hanya mengeluhkan hal tersebut
kepada Ummu Salamah ra, istri Rasulullah yang ketika itu mendapat
giliran untuk menemani Rasulullah menjalankan tugas. Ummu Salamah
kemudian menghibur Rasulullah agar tidak usah terlalu kecewa atas sikap
para sahabat. Menurut beliau lebih baik Rasulullah langsung menyembelih
kurban dan bercukur tanpa harus menunggu reaksi para sahabat. Rasulpun
menyetujui usul istrinya tersebut. Dan memang benar ternyata para
sahabat segera meniru perbuatan Rasulullah.
Hal yang penting dicermati dalam kasus
ini adalah sikap Rasulullah yang mau menerima dengan lapang dada
pendapat istrinya. Padahal Ummu Salamah ketika itu hanya sekedar
memberikan pendapat tanpa mengajukan dalil apapun. Jelas disini bahwa
Rasulullah tidak merasa rendah dan hina ketika seorang perempuan
memberikan pendapatnya.
Contoh lain keteladanan Rasulullah adalah
sebagai berikut. Dalam perjalanan pulang dari Perang Musthaliq,
Rasulullah dan rombongan berhenti di suatu tempat untuk beristirahat.
Aisyah ra yang kali ini mendapat giliran menemani Rasulullah berperang,
turun dari sekedup, tandu tertutup tempat para perempuan ketika itu
duduk dalam perjalanan, untuk buang hajat kecil. Namun ketika ia kembali
ke sekedupnya Aisyah baru menyadari bahwa ia kehilangan kalung yang
dikenakannya. Maka tanpa sepengetahuan yang lain, Aisyahpun segera turun
untuk mencari kalungnya yang hilang tersebut. Sementara itu mengira
rombongan telah lengkap, rombongan meneruskan perjalanan kembali. Maka
ketika akhirnya Aisyah kembali ke tempat dimana sebelumnya rombongan
berhenti, ia mendapati bahwa ia telah tertinggal. Aisyah tidak tahu
harus berbuat apa di padang pasir nan luas tersebut. Ia hanya dapat
menangis dan pasrah akan keadaannya.
Tak lama kemudian terlihat Shafwan bin
Mu’aththal, seorang sahabat, nampaknya ia juga tertinggal rombongan.
Ketika ia mengetahui bahwa umul mukminin ini tertinggal dengan penuh
kesopanan ia segera menawarkan kudanya untuk ditunggangi Aisyah.
Kemudian ia menuntunnya hingga Madinah. Setiba di Madinah, Abdullah bin
Ubay bin Salul, si Munafikun yang memang dikenal sebagai penyebar
fitnah, segera memanfaatkan kesempatan itu. Ia menghembus-hembuskan
berita bahwa Aisyah ra, seorang umul mikminin telah berbuat keji dengan
seorang laki-laki. Berita ini akhirnya sampai ke telinga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Namun Aisyah sendiri tidak mendengar
desas-desus busuk itu karena sekembali dari peristiwa tersebut ia jatuh
sakit. Yang ia ketahui hanya perlakuan Rasulullah, suami tercintanya itu
berubah 180 derajat. Ia baru menyadari penyebab perubahan sikap
Rasulullah yang dingin dan tidak bersabahat itu ketika ia sembuh dan
mendengar berita miring tentang dirinya. Namun apakah Rasulullah
langsung melampiaskan kemarahan tanpa mencari tahu kebenaran berita
tersebut? Sama sekali tidak, Rasulullah memang jelas amat kecewa dan
marah namun beliau berusaha menahan perasaannya. Rasulullah tidak ingin
bertindak gegabah. Beliau ingin memastikan dari mulut Aisyah sendiri
apakah berita itu benar.Sebulan lamanya Rasulullah dalam keadaan seperti
itu. Beliau menunggu hingga istri tercintanya itu sembuh. Namun belum
sampai Rasulullah menanyakan hal yang sebenarnya terjadi, turun ayat
yang menerangkan tentang kebersihan dan ketidak bersalahan Aisyah.
”Sesungguhnya orang-orang yang
membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu
kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi
kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang
terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar.
Mengapa di waktu kamu mendengar berita bohong itu orang-orang mu’minin
dan mu’minat tidak bersangka baik terhadap diri mereka sendiri, dan
(mengapa tidak) berkata: “Ini adalah suatu berita bohong yang nyata.”
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi
atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan
saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Allah orang-orang yang dusta.
Sekiranya tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua di
dunia dan di akhirat, niscaya kamu ditimpa azab yang besar, karena
pembicaraan kamu tentang berita bohong itu”. (QS.An-Nur(24):11-14).
Dengan segera Rasulullahpun meminta maaf
akan kecurigaan dan perlakuan yang menyangsingkan kesetiaan istrinya
itu. Inilah tauladan Rasulullah yang mustinya diambil kaum lelaki dalam
menghadapi kecurigaan terhadap istrinya.
”Dan orang-orang yang menuduh
wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu)
delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat
selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”. (QS.An-Nur(24):4).
Ayat diatas menerangkan bahwa diperlukan
paling tidak 4 orang saksi ketika seseorang menuduh seorang perempuan
berbuat zina. Dan ganjaran bagi orang yang menuduh tanpa dapat
mengajukan saksi adalah didera sebanyak 80 kali dera/cambukan. Sedangkan
bila yang menuduh adalah suami namun ia tidak dapat mengajukan
seorangpun saksi, maka sebagai gantinya ia dapat bersumpah dengan nama
Allah sebanyak 4 kali bahwa ia menyaksikan sendiri apa yang
dituduhkannya itu. Kemudian ia harus menutup sumpahnya tersebut dengan
sumpah ke 5 untuk menegaskan bahwa bila ia berdusta, laknat Allah akan
mendatanginya.
”Dan orang-orang yang menuduh
isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi
selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali
bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk
orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la`nat Allah
atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta”.(QS.An-Nur(24):6-7).
Sebaliknya istripun diberi kesempatan
untuk membela diri dengan bersumpah atas nama Allah sebanyak 4 kali
sebagaimana suaminya. Sumpah ke 5 boleh di ucapkan untuk menegaskan
bahwa ia tidak bersalah, dengan taruhan ia siap dilaknat bila ia memang
bersalah.
”Isterinya itu dihindarkan dari
hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya
itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta dan (sumpah) yang
kelima: bahwa la`nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk
orang-orang yang benar”. (QS.An-Nur(24):6-9).
Rasulullah adalah seorang yang sangat
menghormati kaum perempuan. Suatu ketika datang seorang perempuan tua
mengunjunginya. Aisyah ra menceritakan bahwa Rasulullah segera membuka
jubahnya dan menghamparkan jubah tersebut untuk diduduki perempuan
tersebut. Begitu pula ketika suatu ketika Rasulullah pulang larut malam
dan beliau dapati istrinya telah masuk kamar tidur. Rasulullah tidak mau
mengganggunya maka beliaupun menunggu dan tidur di depan pintu hingga
waktu subuh! Suatu ketika Aisyah ra pernah berkata, agar memudahkan
istrinya untuk menaiki kudanya Rasulullah terbiasa merundukkan
punggungnya sebagai pijakan. Beliau juga terbiasa membantu istrinya
meringankan pekerjaan sehari-hari di rumah seperti menjahit bajunya yang
sobek, menambal terompah, mencuci pakaian, memerah air susu domba dll.
”Dan sesungguhnya bagi kamu (Muhammad) benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan
sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS.Al-Qalam(68):3-4).
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam memberi giliran diantara
istrinya-istrinya lalu menetapkannya dengan adil. Kemudian beliau
berdoa, ” Ya Allah, inilah tindakanku terhadap apa yang aku miliki. Maka
janganlah Engkau mencela apa yang Engkau kuasai dan yang tidak aku
kuasai.” (HR Ahmad).
Inilah yang dibaca Rasulullah setiap kali
beliau berkeliling mengunjungi para istrinya. Rasululullah begitu
khawatir bila beliau tidak dapat berbuat adil terhadap istri-istrinya.
Beliau menyadari bahwa keadilan yang diberikan kepada mereka tidak
mungkin sebagaimana adilnya Allah Subhanahu wa ta'ala. Rasullullah hanya manusia biasa
yang hanya memiliki satu buah hati. Sulit bagi beliau untuk membagi
hatinya sama persis bagi semua istri yang dimilikinya. Beliau hanya
sanggup berusaha membagi waktu dan perhatian yang sama dan adil. Padahal
sesungguhnya Allah telah membebaskan Rasulullah untuk menggilir dan
menggauli mereka sesuka beliau. Tidak berdosa bila Rasulullah misalnya
melebihkan sebagian waktunya untuk yang lain.
Namun Rasulullah tidak mau memanfaatkan
kesempatan dan kelebihan tersebut. Rasulullah tidak ingin mengecewakan
dan menyakiti hati istri-istri beliau walaupun mereka mengatakan ridha’
sekalipun. Beliau sangat memahami sifat dan hati perempuan.
”Kamu boleh menangguhkan (menggauli)
siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (isteri-isterimu) dan (boleh
pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki……..”. (QS.Al-Ahzab( 33):51).
Tidak dapat dipungkiri bahwa para sahabat
dan istri beliaupun mengetahui bahwa sesungguhnya Rasulullah memiliki
rasa cinta yang lebih besar terhadap Aisyah ra daripada istri-istri yang
lain diluar Khadijah ra. Alkisah, suatu ketika sebagaimana sifat
manusia perempuan biasa, Aisyah yang memang masih sangat muda usianya
ingin agar Rasulullah menyatakan kelebihan kecintaan tersebut di
hadapan istri-istri beliau yang lain. Aisyah memohon agar Rasulullah
mengumpulkan mereka semua dan mengatakan bahwa hanya dirinya yang
menerima uang sebesar 1 dinar sebagai ungkapan rasa cinta yang lebih
besar. Rasulullah mengabulkan permintaan Aisyah.
Para Umirul Mukmininpun dikumpulkan.
Kemudian Rasululullah meminta agar mereka yang pagi ini menerima
pemberian uang 1 dinar dari Rasulullah mengacungkan jarinya. Maka
dengan penuh rasa bangga Aisyah segera mengangkat tangannya. Namun apa
yang terjadi? Ketika Aisyah menengok ke kiri dan ke kanan ternyata
seluruh Umirul Mukmininpun mengangkat jari tangannya sambil tersenyum
simpul penuh arti!
Sebaliknya ketika Rasulullah memasuki
sakratul maut. Beliau merasa bahwa harinya telah dekat. Maka ketika
Rasulullah mulai merasakan sakit dan demam, beliau bertanya : ”Dimanakah giliranku hari ini?”
. Ketika ia mendapat jawaban bahwa hari-hari akhir beliau bukan berada
di rumah Aisyah, beliau meminta pengertian istri yang lain agar selama
sakit beliau diizinkan untuk terus berada di rumah Aisyah.
Dan dirumah inilah, di pangkuan Aisyah ra akhirnya Rasulullah menghadap Sang Khalik sambil berbisik 3 x : ”Ya Allah, Rafiqul A’la”
. Padahal sekali lagi Rasulullah diberi kebebasan untuk menentukan
kemauan dan keinginannya sendiri. Namun nyatanya demi keadilan,
Rasulullah tetap merasa perlu mendapatkan izin istri-istri yang lain.
Betapa mulia keteladanan yang diberikannya. Subhanallah.