Baiat Aqabah dan Hijrahnya para sahabat

Memasuki tahun ke 11 kenabian, Islam mulai tersebar di Madinah ( d/h Yatsrib). Ini berkat kaum Khahraj yang menepati janji mereka terhadap Rasulullah untuk mengajak seluruh saudara dan handai taulan mereka di Madinah untuk memeluk Islam. Tahun berikutnya, yaitu pada tahun 621 M pada musim haji, 12 orang lelaki dari suku Anshar datang menemui Rasulullah di Aqabah. Mereka datang untuk berbaiat (berjanji setia) kepada beliau. Peristiwa ini dikenal dengan nama Baiat Aqabah I atau Baiat Perempuan karena isinya sama dengan baiat yang dilakukan Rasulullah dengan kaum perempuan beberapa tahun kemudian.

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Mumtahanah(60):12).

“Berbaitlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak berdusta untuk menutupi-nutupi apa yang ada di depan atau di belakangmu dan tidak akan membantah perintahku dalam hal kebaikan. Jika kamu memenuhi, pahalanya terserah kepada Allah. Jika kamu melanggar sesesuatu dari janji itu lalu dihukumdi dunia maka hukuman itu merupakan kafarat baginya.  Jika kamu melanggar sesuatu dari janji itu kemudian Allah menutupinya maka urusannya kepada Allah. Bila menghendaki, Allah akan menyiksanya atau memberi ampunan menurut kehendak-Nya”. Ubaidah bin Shamit, sebagai satu diantara 12 lelaki Anshar, mengatakan :“Kami kemudian berbait kepada Rasulullah untuk menepatinya”.

Usia berbaiat ke 12 orang lelaki tersebut kembali ke Madinah dengan didampingi Mushab bin Umair yang diutus Rasulullah agar mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah. Itu sebabnya dikemudian hari Mushab dikenal dengan nama Muqri’ul (nara sumber) Madinah. Mushab adalah salah seorang sahabat yang memiliki dedikasi tinggi terhadap Islam. Ia rela meninggalkan kehidupan remajanya yang serba ‘wah’ demi Islam. 

Tahun berikutnya lagi, yaitu tahun 622 M, juga pada musim haji, Mush’ab kembali ke Mekkah dengan membawa 70 orang lelaki dan 2 orang perempuan, yaitu Nasibah binti Ka’ab dan Asma binti Amr bin Addi. Mereka masuk ke Mekkah dengan menyusup di tengah-tengah rombongan kaum musyrik Madinah yang pergi haji. Pada tengah malam di  hari tasyrik, secara sembunyi-sembunyi mereka menuju ke lembah di Aqabah, lembah dimana tahun sebelumnya terjadi Baiat Aqabah I. Mereka datang untuk menemui Rasulullah dan berbaiat. Baiat ini disebut Baiat Aqabah II.

“Aku baiat kalian untuk membelaku sebagaimana kalian membela istri-istri dan anak-anakmu: demikian Rasulullah bersabda. Kemudian Barra’ bin Ma’rur menjabat tangan Rasulullah sambil berucap : “ Ya, demi Allah yang mengutusmu sebagai nabi dengan membawa kebenaran, kami berjanji akan membelamu sebagaimana kami  membela diri kami sendiri. Baiatlah kami, wahai Rasulullah ! Demi Allah, kami adalah orang-orang yang ahli perang dan ahli senjata secara turun temurun”.

Begitulah mereka berbaiat. Bila pada Baiat I dulu sekelompok orang-orang Madinah berjanji untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak mereka dan tidak berdusta maka pada Baiat kedua ini mereka berjanji setia untuk membela dan melindungi Rasulullah.

Tampak bahwa selama 1 tahun di Madinah itu, dengan izin Allah swt, Mushab telah berhasil mengajak penduduk kota tersebut untuk mengenal Tuhan-Nya dengan sangat baik. Begitu besar rasa cinta  mereka pada-Nya hingga dengan secara sadar mereka mau berbaiat; membela dan mencintai  Rasulullah  sebagaimana mereka membela diri dan anak istri mereka. Bahkan merekapun langsung menyatakan kesediaan mereka untuk mengangkat senjata dan menyerang Mina saat itu juga bila Rasulullah menghendaki ! Namun Rasulullah menjawab bahwa Allah belum memerintahkan untuk itu.

Hasan berkata, “ Suatu saat, pada masa Rasulullah, sekelompok orang berkata, “Wahai Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya kami amat mencintai Tuhan kami”. Atas hal itu, Allah lalu menurunkan ayat 31-32 surat Ali Imran, sebagai tuntunan bagi orang yang ingin mencintai Allah, yaitu dengan mencintai utusan-Nya dan berpaling dari kekafiran”. ( HR. Ibnu Mundzir).

“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: “Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran(3):31-32).

Keesokan harinya, beberapa orang Quraisy mendatangi kemah mereka. Dengan penuh kemarahan orang-orang Quraisy itu menyatakan bahwa mereka mendengar orang-orang Khahraj telah berbaiat kepada Muhammad dan berniat membawa Muhammad pergi meninggalkan Mekkah. Beruntung, tiba-tiba sejumlah orang musyrik Madinah datang dan bersumpah bahwa berita tersebut sama sekali tidak benar.

Orang-orang Quraisy baru menyadari bahwa berita tersebut benar setelah rombongan haji dari Madinah tersebut telah pergi meninggalkan lokasi. Merekapun segera mengejar dan mencari orang-orang Khahraj tadi. Mereka  akhirnya berhasil menangkap dua diantara orang Khahraj. Namun salah satunya berhasil melarikan diri hingga tinggal satu yang berhasil ditangkap dan disandera kaum Quraisy. Kemudian dengan kedua tangan diikat ke leher, ia diseret ke Mekah kembali. Beruntung ia mempunyai kenalan yang dapat memberinya hak perlindungan, sebuah kebiasaan yang telah berlaku di tanah Arab, hingga akhirnya iapun dibebaskan.

Namun di lain pihak, dengan adanya berita tersebut, orang-orang Quraisy makin gencar meningkatkan penyiksaan dan tekanan mereka terhadap kaum Muslim Mekkah. Penyiksaan demi penyiksaan, cemoohan, cacian dan hinaan terjadi setiap hari. Akibatnya banyak diantara pemeluk Islam generasi awal tersebut yang akhirnya terpaksa menyembunyikan keislaman mereka.

Dapat dibayangkan betapa sulitnya dakwah Islam berkembang. Bila pada tahap dakwah secara diam-diam yang berlangsung selama 3 tahun pengikut Islam terhitung sekitar 40 orang maka 9 tahun berikutnya, setelah dakwah terang-terangan pengikut Islam hanya mencapai 70 orang-an saja. Berarti selama 9 tahun, mati-matian  Rasulullah berdakwah, hanya bertambah 30 orang saja !

Akhirnya karena tidak tahan terhadap perlakuan orang Quraisy para sahabatpun mulai mengeluh, memohon kepada Rasulullah agar diperbolehkan berhijrah. Kemana saja, yang penting tidak di kota Mekah yang suasananya sama sekali tidak mendukung mereka untuk menjalankan ajaran dengan baik. Permintaan mereka terjawab karena tidak lama kemudian turunlah ayat yang memerintahkan agar umat Islam yang hanya segelintir itu untuk segera berhijrah

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (QS.Ali Imran(3):195).

“Sesungguhnya akupun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa ingin keluar maka hendaklah keluar ke Yatsrib”, demikian Rasulullah menanggapi permohonan para sahabat.

Para sahabatpun kemudian segera berkemas. Tidak sedikitpun barang dan harta benda yang dapat dibawa karena mereka harus meninggalkan Mekah, kota kelahiran dimana seluruh anggota berkumpul, dimana seluruh harta dan pekerjaan berada, secara sembunyi-sembunyi. Karena ketika keberangkatan mereka tercium oleh orang-orang Quraisy, mereka akan segera mengejarnya dan mengembalikan ke Mekah dengan paksa. Ini adalah yang dialami salah satunya oleh Ummu Salamah ra.

Hanya Umar bin Khattab ra, satu-satunya sahabat yang dengan terang-terangan bahkan secara provokatif mengumukan kepergiannya ke Yatsrib (Madinah). Dibawah tatapan kesal tokoh-tokoh Quraisy, ia melakukan thawaf tujuh kali dengan pedang, busur, panah dan tongkat ditangan. Setelah itu ia menghampiri Maqam Ibrahim yang berada di salah sudut Ka’bah  seraya berkata lantang : “ Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, ingin istrinya menjadi janda atau ingin anaknya menjadi yatim piatu hendaklah ia menghadangku di balik lembah ini ! “. Namun tak seorangpun yang berani menghadapi tantangan calon khalifah kedua yang gagah berani tersebut.

Hijrah atau pindah dari satu kota ke kota yang lain, dengan meninggalkan sanak saudara, handaitaulan, harta benda dan pekerjaan tetap bukanlah hal mudah. Namun inilah yang dilakukan para sahabat. Karena bagi mereka kecintaan, ketaatan dan ketakwaan kepada Allah swt, Sang Khalik adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Karena bagi mereka Allah adalah diatas segalanya. Untuk itu dibutuhkan pengorbanan dan keberanian luar biasa.

”Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, … … “. (QS.An-Nahl(16):110) .

Umar bin Hakam mengatakan bahwa Abu Fukhaihah, Bilal bin Rahah, Shuhaib, Amir bin Fuhairah dan beberapa orang Muslim lain yang ketika hendak hijrah ke Madinah, disiksa kaum musryikin Mekah. Akibat siksaan itu mereka sampai tidak sadarkan diri. (HR. Ibnu Sa’ad).

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.(QS.Al-Baqarah(2):207).

Sa’id bin Musayyab berkata, “ Suatu hari, Shuhaib berhijrah ke Madinah. Di perjalanan ia dikejar orang-orang kafir Quraisy. Ia kemudian turun dari tunggangannya. Dengan anak panah di tangan ia berseru, ” Wahai musyrik Mekah, Demi Allah kalian tentu mengetahui bahwa aku adalah seorang pemanah ulung. Kalian tidak akan bisa menyerangku. Maka pilihlah, kalian semua mati terbunuh atau kalian dapat memiliki semua hartaku di Mekah dengan syarat kalian tidak mengganggu hijrahku ke Madinah”. Orang-orang kafir itu memilih harta Shuhaib dan membiarkannya pergi. Setibanya di Madinah, Shuhaib menceritakan peristiwa yang menimpanya itu kepada Rasulullah. Rasul kemudian bersabda : “ Engkau telah beruntung, wahai Abi Yahya”. Tak lama kemudian turun ayat di atas. ( HR Harits bin Abi Usamah).

Maka Luth membenarkan (kenabian) nya. Dan berkatalah Ibrahim: “Sesungguhnya aku akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS.Al-Ankabut(29):26).

Begitu pula yang dicontohkan nabi Ibrahim as. Beliau berhijrah ketika kota yang ditempatinya tidak mendukung perkembangan perintah Tuhannya, Allah swt.

Namun bagi mereka yang kurang begitu kokoh keimanannya hal ini tentu saja terasa amat memberatkan. Itu sebabnya ada sebagian orang yang telah menyatakan ke-Islam-annya tapi tidak berani berhijrah. Mereka khawatir bila mereka meninggalkan tanah kelahirannya maka akan susah hidupnya. Karena bagi mereka harta dan sanak saudara adalah segalanya meski mereka sulit menjalankan ibadah. Tampaknya bisikan syaitan begitu kuat hingga mereka lupa bahwa balasan bagi mereka kelak adalah neraka. Allah swt hanya mau memaafkan orang yang tidak berhijrah karena memang mereka lemah. Seperti anak-anak, perempuan, budak dan orang yang benar-benar tidak tahu jalan menuju Madinah.

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. Mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah mema`afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema`af lagi Maha Pengampun”. (QS.An-Nisa’(4):97-99).

Jadi hijrah sebenarnya selain pertolongan juga adalah cobaan. Dengan hijrah dapat dibedakan mana orang yang benar-benar takwa mana yang hanya bermain-main. Mana yang lebih menyukai dan mencintai Tuhannya mana yang lebih mencintai harta benda. Mana yang lebih menyukai kehidupan akhirat mana yang lebih memilih kehidupan dunia.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS. Al-Ankabut(29):2).

Para sahabat adalah orang-orang yang mencintai Tuhannya, Allah swt, lebih dari apapun. Mereka yang hijrah dari Mekah karena sulit menjalankan ajaran Islam ke Madinah dinamakan kaum Muhajirin. Mereka siap berani mengambil resiko tak mempunyai sedikitpun harta dan kehilangan orang-orang yang mereka cintai asalkan Allah swt ridho terhadap mereka.

Sementara penduduk Madinah yang telah memeluk Islam dan siap menerima saudara-saudara mereka seiman yang hijrah demi mencari ridho-Nya disebut kaum Anshar.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi … …” (QS.Al-Anfal(8):72)

Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.” (HR. Muslim).

Itulah ikatan yang terjadi antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Madinah Mereka saling menyayangi karena Allah swt. Para sahabat sebagai pemeluk Islam tahap awal dari Mekah yang selama 12 tahun hidup tertindas dan tertekan akhirnya dapat merasakan buah ketakwaan mereka. Walaupun bukan di kota kelahiran mereka melainkan di Madinah.

Padahal penduduk Madinah sendiri belum genap 2 tahun mengenal ajaran Islam. Ini adalah skenario Allah swt. Dimulai dengan kunjungan sekelompok orang Khahraj pada tahun ke 11 kenabian kemudian disusul dengan adanya Baiat Aqabah I dan II, Allah swt berkehendak bahwa Islam bakal berkembang pesat dari Madinah. Dalam waktu relatif singkat masyarakat Madinah tiba-tiba telah siap menerima kehadiran Rasulullah Muhammad saw dan ajarannya beserta para sahabat yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Dan dibalut dengan ikatan semangat persaudaraan yang sungguh mengejutkan pula

Kembali ke menu daftar isi