PENUTUP (Sirah Nabawiyah)


Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam telah pergi meninggalkan para sahabat yang selama hampir 23 tahun menyaksikan dengan kepala sendiri, ayat demi ayat turun melalui malaikat Jibril as kepada hamba pilihan-Nya itu. Rasulullah kembali ke haribaan Sang Khalik Azza wa Jalla dengan perasaan puas. Sebuah senyum terukir di bibir Rasulullah. Bayangan Abu Bakar ra yang sedang memimpin kaum Muslimin shalat Subuh berjamaah menjadi kenangan terakhir yang ada di benak Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Missi utama beliau dalam menyampaikan pesan Tuhannya, Tuhan semesta alam beserta seluruh isinya, untuk menyembah hanya kepada-Nya, melalui shalat, tampaknya telah terpenuhi.

Semoga kita, umat Islam yang hidup 14 abad setelah peristiwa fenomenal tersebut, mampu menjaga dan melaksanakan pesan penting tersebut. Yaitu shalat, shalat dan shalat ! Semoga kita tidak mengecewakan Rasulullah  Shallallahu Alaihi Wasallam dengan menghapus kenangan manis di detik-detik terakhir beliau.

“Salah satu batas (yang membedakan) antara Muslim dengan Kafir adalah Shalat.” (HR. Muslim).

“Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seorang hamba nanti pada hari kiamat ialah shalat, apabila shalatnya baik maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika shalatnya itu rusak maka rusaklah segala amalan yang lain” (H.R. Thabrani).

Ibarat bangunan, shalat adalah tiangnya. Itu sebabnya Allah tidak menghitung amalan orang yang tidak mendirikan shalat. Shalat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat. Syahadat dan shalat adalah 2 hal yang tak terpisahkan. Bila syahadat adalah pengakuan atas keberadaan Tuhan Yang Esa, Allah swt dan Muhammad adalah utusan-Nya maka shalat adalah bukti dari pengakuan tersebut.

Ajaran Tauhid, pengakuan akan Tuhan Yang Maha Esa adalah tugas utama yang diemban semua rasul, dari nabi  Adam as hingga nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Inilah yang dilakukan Rasulullah terhadap orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy adalah orang-orang yang mengakui bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam. Ini adalah warisa ajaran nabi Ibrahim as dan putranya, nabi ismail as yang memang lahir di kota Mekah ribuan tahun lalu.

Namun dengan berlalunya waktu ajaran tersebut telah diselewengkan sedemikian rupa. Kesyirikan telah merasuk jauh ke dalam diri mereka. Penyembahan terhadap berhala-berhala  dianggap sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. Padahal telah nyata bahwa sesembahan yang selain Allah itu jelas tidak mampu mendatangkan mudharat apalagi manfaat !

“Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri (kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-adakan”.(QS.Al-Ahqaf(46):28).

Sedangkan shalat dan syariat (hukum) setiap agama yang dibawa para rasul tidak sama. Inilah yang membedakan agama Yahudi yang dibawa nabi Musa as, Nasrani yang dibawa nabi Isa dan Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari`at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari`at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus”.(QS.Al-Hajj(22):67).

“ … … Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”.(QS.Al-Maidah(5):48).

Setiap umat mempunyai nabi yang harus dijadikan contoh dan suri teladan. Itu sebabnya kita, sebagai umat Islam,harus mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam. Termasuk cara shalat, puasa dan haji yang juga sebenarnya telah dilakukan oleh umat para rasul terdahulu.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.(QS.Ahzab(33):21).

Selanjutnya agar bangunan memberikan manfaat dan indah dipandang, seorang Muslim harus menjalankan amal kebajikan. Orang yang paling takwa adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain. Jadi jelas, bahwa shalat saja tidaklah cukup. Shalat hanyalah tiang bangunan yang pasti amat diperlukan namun belum bisa memberikan manfaatnya. Pada detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah, beliau tersenyum bahagia karena paling tidak dasar/tiang tersebut telah mampu berdiri. Sepeninggal Rasulullah, adalah tugas setiap kaum Muslimin untuk mengisi bangunan tersebut.

Namun dengan berlalunya waktu bahkan sebenarnya menjelang hari-hari akhir Rasulullahpun, keingkaran sudah mulai menampakkan diri. Sejumlah orang mengaku-ngaku sebagai nabi. Orang-orang Munafik yang memang telah ada sejak periode Madinah, begitu Rasulullah wafat, kemunafikannya makin menjadi-jadi. Orang-orang yang semenjak diwajibkannya perang sudah enggan melakukannya juga makin memperlihatkan karakter aslinya.

Kekhalifahan khalifah yang 4,yaitu Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra dan Ali bin Abu Thalib yang notabene adalah sahabat-sahabat terbaik Rasulullah juga tidak luput dari kekisruhan dan berbagai fitnah. Beberapa perbedaan pendapat yang sebenarnya tidak terlalu mendasar, dipicu orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, seperti si tokoh Munafikun Madinah, Muhammad bin Ubay bin Salul dkk maupun orang-orang Khawarij yang begitu memusuhi Ali Bin Thalib, menjadikan pecahnya persatuan dan persaudaraan dalam tubuh Islam yang sebenarnya masih relative rentan. Para sahabat yang merupakan saksi turunnya ayat-ayat Al-Quranpun tidak luput dari fitnah.

Demikian juga pembukuan Al-Quran yang dilakukan pada masa Ustman bin Affan. Padahal dalam firman-Nya Allah menjamin bahwa Al-Quran itu senantiasa dalam penjagaan dan pengawasan-Nya. Tak ada satupun yang dapat merubahnya , hingga kapanpun. Ini terbukti secara akal sehat bahwa sejak awal turunnya selalu ada kaum Muslimin yang hafal seluruh ayat-ayat suci, bahkan secara sempurna hingga bacaan panjang pendeknya! Sesuatu yang tidak pernah terjadi pada satupun buku di dunia ini.

“Katakanlah: “Al Qur’an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di bumi. ….” (QS.Al-Furqon(25):6)

Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur’an yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur’an itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.(QS.Al-Baqarah(2):23).

Maka tidaklah mengherankan bila dari hari ke hari. fenomena semacam itu tetap ada dan bahkan makin memarah.  Jika ayat-ayat Al-Quran saja bisa menjadi bahan perdebatan apalagi hadist yang memang jumlahnya ribuan itu. Meski sebenarnya tidak semua hadits itu bisa dijadikan pegangan. Karena hadits ada berbagai tingkatan. Dari mutawatir, shahih, hasan, dhaif hingga maudhu’ atau palsu. Itupun masih dibagi dengan berbagai kriteria dan persyaratan yang sangat rumit.

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah), serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.(QS.Al-Baqarah(2):151).

Al-Quran dan Al-Hikmah (As-Sunnah) adalah dua hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan. Ayat-ayat suci Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melalui malaikat Jibril as. Para sahabat adalah saksinya. Meski mereka memang tidak mendengar sendiri namun mereka menyaksikan peristiwa tersebut. Rasulullahlah yang kemudian memberitahukan dan menyampaikan wahyu tersebut kepada mereka. Selanjutnya beliau memerintahkan para sahabat agar menghafal dan mencatatnya pada media apapun yang dapat ditulisi, seperti batu, kayu, tulang dan kulit binatang dsbnya.

Diluar itu, para sahabat juga terbiasa menghafal apa yang dikatakan, dilihat dan dirasakan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Termasuk juga mengamati apa dan bagaimana reaksi Rasulullah dan kaum Muslimin ketika ayat-ayat turun. Juga bagaimana situasi dan keadaan saat itu. Rasulullah bahkan juga menyuruh para sahabat menghafalnya. Tetapi beliau mewanti-wanti agar tidak mencatatnya karena khawatir akan rancu dan tercampur dengan ayat-ayat suci Al-Quran.

Bersabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam : Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang (telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur’an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka. (HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Ucapan, tindakan serta reaksi diam dan tidaknya Rasulullah itu baru dibukukan kurang lebih 50 tahun setelah beliau wafat, yaitu pada zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (63-101 H) dan khalifah-khalifah penerusnya.  Ini dilakukan demi mencegah timbulnya kesalahan, kekhilafan ataupun kesalah-pahaman yang sangat mungkin terjadi akibat berjalannya waktu. Juga sebagai cara untuk menjaga musuh-musuh Islam dalam memanfaatkan kelemahan As-Sunnah bila tidak segera dituliskan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan Al-Quran telah ditulis dan dibukukan secara sempurna. Mengingat inilah satu-satunya alasan mengapa Rasulullah semasa hidup beliau melarang para sahabat menuliskan ucapan-ucapan beliau. Apa yang kemudian dibukukan tersebut dinamakan Al-Hadits.

Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan luas. Tak ada satupun ilmu di dunia ini yang mempunyai ilmu seperti ini. Ilmu ini sangat menggantungkan pada akhlak dan pribadi seseorang, yaitu si perawi (orang yang menceritakan peristiwa yang terjadi). Salah satu contohnya, seorang perawi yang diketahui pernah berbohong, meski ia sholeh sekalipun, riwayatnya bisa tidak diterima! Bukhari ( 194-256 H) dan Muslim ( 204-262 H) adalah 2 orang periwayat yang diakui paling baik meriwayatkan hadits. Selama puluhan tahun keduanya berkelana dari kota ke kota di berbagai negri untuk mencari jejak para sahabat. Mereka ingin mendapatkan berita apa yang para sahabat dengar dan ketahui mengenai apa yang dikatakan, dilihat dan dirasakan Rasulullah. Apa dan bagaimana reaksi Rasulullah ketika turun sebuah ayat. Apa dan bagaimana pula reaksi para sahabat dan bagaimana Rasulullah menanggapi prilaku para sahabat tersebut. Kemudian keduanya bekerja extra keras untuk menyaring dan mengelompokkan berita-berita tersebut.

Selain Bukhari dan Muslim, masih ada beberapa periwayat lain yang riwayatnya juga sering dijadikan pegangan para ulama. Diantaranya adalah Malik bin Anas (93-179 H), Abu Dawud (202-275 H), At-Turmudzi (209-279 H), An-Nasa’i (215-303 H), Ibnu Majah (209-273) dll. Sementara kaum Syiah hanya mengakui hadits yang diriwayatkan keluarga Rasulullah seperti putri Rasulullah, Fatimah az-Zahra ataupun sahabat yang dianggap tidak pernah memusuhi Ali bin Abi Thalib. Aisyah, Umirul Mukminin, adalah salah satu orang yang tidak diterima haditsnya oleh kaum Syiah karena memusuhi Ali, dalam perang Jamal. Begitupun sahabat-sahabat besar seperti Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan. Namun apapun alasannya, sungguh tidak sepatutnya seorang Muslim itu, secara keseluruhan meninggalkan hadits, melecehkan apalagi tidak mengakuinya.

Orang-orang Anshar dan Muhajirin adalah orang-orang yang dikenal sangat mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Mereka senantiasa bersegera dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya.

“Bertasbih kepada Allah di rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.(QS.An-Nuur(24):36-38).

‘Abdillah bin Umar menerangkan, bahwa ketiga ayat diatas diturunkan berkenaan dengan kebiasaan kaum Muslimin yang segera menutup toko mereka jika mendengar azan meskipun mereka sedang sibuk berniaga di pasar. Mereka pergi ke masjid untuk melaksanakan shalat berjamaah. (HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir).

Begitu pula ketika turun ayat yang melarang khamr (minuman keras). Kaum Muslimin segera menumpahkan minuman tersebut ke saluran-saluran got yang ada di kota Madinah. Anas meriwayatkan bahwa sejumlah orang tengah minum khamr di rumah Abu Thalhah; begitu mendengar diharamkannya khamr, mereka langsung menumpahkan dan memecah­kan semua bejana khamr. Jumhur ulama bersepakat bahwa khamr, banyak maupun sedikit, adalah haram. [Suryan A. Jamrah]

Sementara kaum perempuan Anshar langsung menyobek kain-kain gordein mereka untuk dijadikan kerudung begitu turun ayat 31 surat An-Nur.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, … … Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS.An-Nur(24):31).

Itulah yang dilakukan para sahabat yang hidup dan menjadi saksi turunnya ayat-ayat Al-Quran, 14 abad lalu. Kini, Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam telah tiada. Ayat-ayat Al-Quran telah sempurna diturunkan bahkan telah dibukukan dengan baik. Demikian pula As-sunnah yang telah selesai diabadikan menjadi Al-Hadits. Maka umat Islam sekarang ini sebenarnya tinggal menjalankan keduanya saja. Bahkan bila ternyata kini terjadi perbedaan pendapat, para alim ulama yang berkompetenpun telah diberi keleluasaan memberikan jalan keluar melalui Ijtihad.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus”.(QS.Al-Bayyinah(98):5).

Semoga kita tidak menyia-nyiakan petunjuk tersebut dan semoga Allah swt ridho memberikan hidayah-Nya hingga kita mampu dan mau menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.
Shalawat dan salam sejahtera bagi Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam yang telah berjuang sepanjang hidup beliau demi menyampaikan perintah dan larangan-Nya, amiiin Ya Robbal ‘Alamin.

Sumber :
1.  Sirah Nabawiyah oleh Dr. M. Sa’id Ramadhan Al-Buthy.
2. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam oleh HMH Al Hamid Alhusaini
3. Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal

Kembali ke menu daftar isi