Perang
ini dipicu karena kekecewaan orang-orang Quraisy terhadap kekalahan
mereka di perang Badar. Tak sampai setahun setelah perang tersebut
orang-orang Quraisypun mengerahkan 3000 pasukannya untuk menyerang
Madinah. Diantara pasukan ini terdapat 700 ratus tentara berbaju besi,
200 tentara berkuda (kavaleri) dan 17 orang perempuan. Seorang di antara
perempuan tersebut adalah Hindun bin Utbah, isteri Abu Sufyan. Ayahnya
yang bernama Utbah telah terbunuh pada perang Badar. Ia sangat bernafsu
ikut berperang karena ingin balas dendam atas kematian ayahnya itu.
Dalam perang ini suaminya sendiri yang menjadi pimpinan.
Sementara itu di Madinah, mendengar kabar
tersebut Rasulullah segera mengumpulkan para sahabat untuk
bermusyawarah dan bertukar pendapat mengenai strategi yang akan
digunakan melawan orang-orang Quraisy nanti. Rasulullah ingin mendengar
pendapat para sahabat, mana yang lebih baik, bertahan di dalam kota dan
menanti serangan atau menyambut musuh di luar Madinah.
Tokoh munafikun, Abdullah bin Ubay, yang merupakan tokoh senior dan konco-konconya termasuk kelompok yang memilih bertahan. Sementara para sahabat yang tidak sempat berpartisipasi dalam perang Badar mengusulkan agar mereka menyambut musuh di luar kota. Rasulullah sendiri tampak bahwa sebenarnya lebih memilih bertahan di Madinah. Namun karena terus didesak tanpa banyak bicara maka Rasulullahpun masuk ke kamar dan segera keluar dengan memakai baju besi, tanda bahwa Rasulullah siap berangkat berperang.
Para sahabat muda yang semula mendesak Rasulullah menyambut musuh di luar Madinah belakangan menyadari sikap mereka. Dengan rasa menyesal mereka berkata : “Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu keluar, dan itu tidak pantas kami lakukan. Jika Anda berkehendak, silakan Anda duduk kembali (tidak usah keluar dari Madinah), mudah-mudahan Allah memberi shalawat kepada Anda”. Namun Rasulullah saw hanya menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang sudah mengenakan baju besi untuk menanggalkannya kembali, hingga Allah menetapkan sesuatu baginya dan bagi musuh.”
Kemudian berangkatlah Rasulullah berserta lebih kurang 1.000 orang tentara. Dua ratus orang diantaranya memakai baju besi dan hanya dua orang tentara yang berkuda. Itupun di sepertiga perjalanan Abdulullah bin Ubay dan teman-temannya yang berjumlah 300 orang mengundurkan diri. Ia berkata: “Ia (Rasulullah) menuruti pendapat para sahabatnya dan tidak menuruti pendapatku. Wahai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di tempat ini “. Akibatnya pasukan Muslim hanya tinggal 700 orang saja.
Bukhari meriwayatkan bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat mengenai tindakan desersi itu. Sebagian mengatakan, “Kita perangi mereka,” sedangkan sebagian yang lain mengatakan, “Biarkanlah mereka.” Lau turunlah firman Allah sebagai berikut :
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya”.(QS.An-Nisa’ (4): 88).
Mereka disesatkan Allah karena dari awal memang tidak memiliki niat kuat untuk mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Menghadapi kenyataan pahit ini maka sebagian sahabat mengusulkan supaya Rasulullah meminta bantuan orang-orang Yahudi, mengingat mereka terikat perjanjian untuk tolong-menolong dengan kaum Muslimin. Akan tetapi Rasulullah menjawab singkat,
“Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik (lainnya).”
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sebelum peperangan berkecamuk Rasulullah bersabda : “Aku bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian aku ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari sebelumnya. Itulah kemenangan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu aku juga melihat sapi – Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik – Itu terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Ta’ala karuniakan setelah perang Badar”.
Rasulullah saw menakwilkan mimpi tersebut dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi dalam Perang Uhud. Selanjutnya Rasulullah kemudian mengambil posisi di sebuah dataran di lereng gunung bernama Uhud dan membentengi diri di balik gunung menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan lima puluh pasukan pemanah di atas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu. Rasulullah menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah.
Kepada pasukan pemanah ini beliau berpesan : “Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu”.
Setelah memberikan pengarahan Rasulullah mengangkat tinggi pedangnya seraya berkata:
“Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”
Beberapa orang tampil menawarkan diri namun Rasulullah tetap memegang pedang tersebut. Hingga akhirnya Abu Dujana maju ke depan dan bertanya:
“Apa tugasnya, Ya Rasulullah?”
“Tugasnya ialah menghantamkannya kepada musuh sampai ia bengkok,” jawab Rasulullah.
Abu Dujana adalah seorang laki-laki yang sangat berani. Pada saat-saat tertentu ia mengenakan pita merah. Dan bila pita merah itu sudah diikatkannya di kepala, orang akan mengetahui, bahwa ia telah siap bertempur dan siap mati.
Itulah yang dilakukannya. Begitu pedang diterima iapun mengeluarkan pita merah mautnya. Kemudian ia berjalan di tengah-tengah barisan dengan gaya angkuh sebagaimana biasa apabila ia siap menghadapi pertempuran.
“Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam perang”, komentar Rasulullah melihat gaya Abu Dujana.
Selanjutnya Rasulullah menyerahkan panji perang kepada Mush’ab bin Umair. Maka meletuslah peperangan sengit antara dua pasukan yang amat jauh dari seimbang itu. Masing-masing pasukan dengan masing-masing latar belakangnya. Pasukan Quraisy dengan semangat dendamnya terhadap kekalahannya di perang sebelumnya. Sementara pasukan Muslimin dengan semangat takwa demi menjunjung kalimat tauhid sekaligus semangat mempertahankan tanah air. Rasulullah saw tak henti-hentinya memberikan semangat dengan menjanjikan kemenangan apabila mereka tabah.
Dengan gagah berani Mush’ab, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Asim bin Tsabit, Ali dan Hamzah bin Abu Thalib beserta para sahabat lain mengayunkan pedang dengan gesitnya. Jumlah yang jauh lebih sedikit tampaknya tidak membuat mereka kehilangan semangat. Janji Rasulullah bahwa hanya dengan ketabahan dan kesabaran dalam rangka menjunjung kalimat tauhid yang bakal mengantar kepada kemenangan membuat mereka begitu bersemangat menundukkan lawan. Kekafiran harus dienyahkan maka berkumandanglah “ Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar “ di sepanjang perang yang terjadi di suatu hari di bulan Syawal tahun ke 3 Hijriyah itu.
Beberapa sumber meriwayatkan bahwa ketika itu Rasulullah memberikan izin kepada Samurah bin Jundub al-Fazari dan Rafi’ bin Khudaij saudara Bani Haritsah untuk ikut berperang. Ketika itu keduanya baru berusia lima belas tahun. Sebelumnya beliau menyuruh keduanya kembali ke Madinah. Namun kemudian dikatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rafi’ adalah seorang pemanah yang hebat.” Maka Rasulullah pun mengizinkannya ikut berperang. Dikatakan pula kepada beliau: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Samurah pernah mengalahkan Rafi’.” Maka Rasulullah juga mengizinkannya ikut berperang. Sebaliknya Rasulullah memulangkan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Umar bin al-Katthab, Zaid bin Tsabit salah seorang dari Bani Malik bin an-Najjar, al-Bara’ bin Azib dari Bani Haritsah, Amr bin Hazm dari Bani Malik bin an-Najjar dan Usaid bin Dhuhair dari bani Haritsah. Mereka baru diizinkan ikut serta dalam perang Khandaq ketika telah mencapai usia lima belas tahun.
Melihat semangat kaum Muslimin yang begitu tinggi dan korban terus berjatuhan di pihak Quraisy akhirnya pasukan Quraisy kehilangan rasa percaya diri. Mereka mundur dan berusaha melarikan diri. Pasukan Muslimin terus mengejarnya sambil memunguti harta benda yang ditinggalkan musuh. Sementara itu pasukan pemanah yang berjaga di atas bukit mulai tergiur oleh banyaknya harta benda yang tercecer dan dijadikan rebutan kawan-kawannya di bawah bukit sana. Bisikan syaitanpun mulai beraksi.
Peringatan Abdullah bin Jubair sebagai komandan pasukan pemanah agar mereka menepati janji kepada Rasulullah untuk tetap bertahan di atas bukit apapun yang terjadi tidak digubris. Mereka ikut berhamburan memperebutkan harta benda musuh yang tercecer. Hingga hanya Abdullah dan 9 anak buahnya saja yang bertahan di tempat strategis tersebut.
Sialnya, Khalid bin Walid, komandan pasukan kuda andalan Quraisy yang ketika itu belum memeluk Islam melihat peluang terbuka tersebut. Maka dengan segera ia memerintahkan pasukannya untuk merebut bukit itu dari arah belakang. Akibatnya dapat dibayangkan. Abdullah dan anak buahnya menjadi sasaran empuk. Setelah berhasil membuat ke 10 sahabat syahid mereka membantai pasukan Muslim yang sudah cerai berai di bawah bukit. Dengan cepat keadaan menjadi berbalik. Pasukan Muslim benar-benar dibuat terperanjat. Dalam keadaan panik dan kucar kacir mereka saling bunuh karena tidak menyadari mana kawan mana lawan.
Mush’ab sebagai pemegang panji merasa yang paling bersalah. Dengan sigap dan gagah perkasa ia menyerang dan mengibaskan pedangnya kesana kemari. Ia berusaha menarik perhatian musuh agar tidak menyerang Rasulullah. Berkata Ibnu Sa’ad, “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya, ia berkata :
“Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu untuk ketiga kalinya orang berkuda itu menyerangnya dengan tombak dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh.”
Mush’ab berseru demikian karena merasa tidak bakal dapat melindungi Rasulullah, sang kekasih Allah yang amat disayangi dan dihormatinya. Disamping itu ia juga ingin meyakinkan diri dan teman-teman bahwa bila Rasulullah wafat, itu bukan berarti bahwa perjuangan Islam dapat dihentikan. Ironisnya, Mush’ab sendiri syahid justru karena Qumaimah menyangka dirinya Rasulullah karena Wajah Mush’ab memang mirip dengan Rasulullah. Kemudian dengan sesumbar Qumaiah mengatakan bahwa ia telah membunuh Rasulullah.
Umar bin Khattab berkata :”Kami terpisah dari Rasulullah saat perang Uhud. Aku naik ke gunung dan aku mendengar seorang Yahudi berkata : “Muhammad mati terbunuh!”. Akupun berseru, “ Aku akan memenggal leher orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah mati terbunuh”. Setelah itu aku melihat Rasulullah dan para sahabat kembali ke tempat semula. Lalu turunlah ayat 144 surat Ali Imran.( HR. Ibnu Mundzir).
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS.Ali Imran(3):144)
Kembali ke menu daftar isi
Tokoh munafikun, Abdullah bin Ubay, yang merupakan tokoh senior dan konco-konconya termasuk kelompok yang memilih bertahan. Sementara para sahabat yang tidak sempat berpartisipasi dalam perang Badar mengusulkan agar mereka menyambut musuh di luar kota. Rasulullah sendiri tampak bahwa sebenarnya lebih memilih bertahan di Madinah. Namun karena terus didesak tanpa banyak bicara maka Rasulullahpun masuk ke kamar dan segera keluar dengan memakai baju besi, tanda bahwa Rasulullah siap berangkat berperang.
Para sahabat muda yang semula mendesak Rasulullah menyambut musuh di luar Madinah belakangan menyadari sikap mereka. Dengan rasa menyesal mereka berkata : “Wahai Rasulullah, kami telah memaksamu keluar, dan itu tidak pantas kami lakukan. Jika Anda berkehendak, silakan Anda duduk kembali (tidak usah keluar dari Madinah), mudah-mudahan Allah memberi shalawat kepada Anda”. Namun Rasulullah saw hanya menjawab, “Tidak pantas bagi seorang Nabi yang sudah mengenakan baju besi untuk menanggalkannya kembali, hingga Allah menetapkan sesuatu baginya dan bagi musuh.”
Kemudian berangkatlah Rasulullah berserta lebih kurang 1.000 orang tentara. Dua ratus orang diantaranya memakai baju besi dan hanya dua orang tentara yang berkuda. Itupun di sepertiga perjalanan Abdulullah bin Ubay dan teman-temannya yang berjumlah 300 orang mengundurkan diri. Ia berkata: “Ia (Rasulullah) menuruti pendapat para sahabatnya dan tidak menuruti pendapatku. Wahai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di tempat ini “. Akibatnya pasukan Muslim hanya tinggal 700 orang saja.
Bukhari meriwayatkan bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat mengenai tindakan desersi itu. Sebagian mengatakan, “Kita perangi mereka,” sedangkan sebagian yang lain mengatakan, “Biarkanlah mereka.” Lau turunlah firman Allah sebagai berikut :
“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya”.(QS.An-Nisa’ (4): 88).
Mereka disesatkan Allah karena dari awal memang tidak memiliki niat kuat untuk mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya. Menghadapi kenyataan pahit ini maka sebagian sahabat mengusulkan supaya Rasulullah meminta bantuan orang-orang Yahudi, mengingat mereka terikat perjanjian untuk tolong-menolong dengan kaum Muslimin. Akan tetapi Rasulullah menjawab singkat,
“Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk menghadapi orang-orang musyrik (lainnya).”
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sebelum peperangan berkecamuk Rasulullah bersabda : “Aku bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian aku ayunkan lagi pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari sebelumnya. Itulah kemenangan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu aku juga melihat sapi – Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik – Itu terhadap kaum Muslimin (yang menjadi korban) dalam perang Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Ta’ala anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Ta’ala karuniakan setelah perang Badar”.
Rasulullah saw menakwilkan mimpi tersebut dengan kekalahan dan kematian yang akan terjadi dalam Perang Uhud. Selanjutnya Rasulullah kemudian mengambil posisi di sebuah dataran di lereng gunung bernama Uhud dan membentengi diri di balik gunung menghadap ke arah Madinah. Beliau menempatkan lima puluh pasukan pemanah di atas bukit yang terletak di belakang kaum Muslimin itu. Rasulullah menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai pimpinan pasukan pemanah.
Kepada pasukan pemanah ini beliau berpesan : “Berjagalah di tempat kalian ini dan lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut menjarah. Demikian pula andai kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu”.
Setelah memberikan pengarahan Rasulullah mengangkat tinggi pedangnya seraya berkata:
“Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”
Beberapa orang tampil menawarkan diri namun Rasulullah tetap memegang pedang tersebut. Hingga akhirnya Abu Dujana maju ke depan dan bertanya:
“Apa tugasnya, Ya Rasulullah?”
“Tugasnya ialah menghantamkannya kepada musuh sampai ia bengkok,” jawab Rasulullah.
Abu Dujana adalah seorang laki-laki yang sangat berani. Pada saat-saat tertentu ia mengenakan pita merah. Dan bila pita merah itu sudah diikatkannya di kepala, orang akan mengetahui, bahwa ia telah siap bertempur dan siap mati.
Itulah yang dilakukannya. Begitu pedang diterima iapun mengeluarkan pita merah mautnya. Kemudian ia berjalan di tengah-tengah barisan dengan gaya angkuh sebagaimana biasa apabila ia siap menghadapi pertempuran.
“Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam perang”, komentar Rasulullah melihat gaya Abu Dujana.
Selanjutnya Rasulullah menyerahkan panji perang kepada Mush’ab bin Umair. Maka meletuslah peperangan sengit antara dua pasukan yang amat jauh dari seimbang itu. Masing-masing pasukan dengan masing-masing latar belakangnya. Pasukan Quraisy dengan semangat dendamnya terhadap kekalahannya di perang sebelumnya. Sementara pasukan Muslimin dengan semangat takwa demi menjunjung kalimat tauhid sekaligus semangat mempertahankan tanah air. Rasulullah saw tak henti-hentinya memberikan semangat dengan menjanjikan kemenangan apabila mereka tabah.
Dengan gagah berani Mush’ab, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Asim bin Tsabit, Ali dan Hamzah bin Abu Thalib beserta para sahabat lain mengayunkan pedang dengan gesitnya. Jumlah yang jauh lebih sedikit tampaknya tidak membuat mereka kehilangan semangat. Janji Rasulullah bahwa hanya dengan ketabahan dan kesabaran dalam rangka menjunjung kalimat tauhid yang bakal mengantar kepada kemenangan membuat mereka begitu bersemangat menundukkan lawan. Kekafiran harus dienyahkan maka berkumandanglah “ Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar “ di sepanjang perang yang terjadi di suatu hari di bulan Syawal tahun ke 3 Hijriyah itu.
Beberapa sumber meriwayatkan bahwa ketika itu Rasulullah memberikan izin kepada Samurah bin Jundub al-Fazari dan Rafi’ bin Khudaij saudara Bani Haritsah untuk ikut berperang. Ketika itu keduanya baru berusia lima belas tahun. Sebelumnya beliau menyuruh keduanya kembali ke Madinah. Namun kemudian dikatakan : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rafi’ adalah seorang pemanah yang hebat.” Maka Rasulullah pun mengizinkannya ikut berperang. Dikatakan pula kepada beliau: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Samurah pernah mengalahkan Rafi’.” Maka Rasulullah juga mengizinkannya ikut berperang. Sebaliknya Rasulullah memulangkan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Umar bin al-Katthab, Zaid bin Tsabit salah seorang dari Bani Malik bin an-Najjar, al-Bara’ bin Azib dari Bani Haritsah, Amr bin Hazm dari Bani Malik bin an-Najjar dan Usaid bin Dhuhair dari bani Haritsah. Mereka baru diizinkan ikut serta dalam perang Khandaq ketika telah mencapai usia lima belas tahun.
Melihat semangat kaum Muslimin yang begitu tinggi dan korban terus berjatuhan di pihak Quraisy akhirnya pasukan Quraisy kehilangan rasa percaya diri. Mereka mundur dan berusaha melarikan diri. Pasukan Muslimin terus mengejarnya sambil memunguti harta benda yang ditinggalkan musuh. Sementara itu pasukan pemanah yang berjaga di atas bukit mulai tergiur oleh banyaknya harta benda yang tercecer dan dijadikan rebutan kawan-kawannya di bawah bukit sana. Bisikan syaitanpun mulai beraksi.
Peringatan Abdullah bin Jubair sebagai komandan pasukan pemanah agar mereka menepati janji kepada Rasulullah untuk tetap bertahan di atas bukit apapun yang terjadi tidak digubris. Mereka ikut berhamburan memperebutkan harta benda musuh yang tercecer. Hingga hanya Abdullah dan 9 anak buahnya saja yang bertahan di tempat strategis tersebut.
Sialnya, Khalid bin Walid, komandan pasukan kuda andalan Quraisy yang ketika itu belum memeluk Islam melihat peluang terbuka tersebut. Maka dengan segera ia memerintahkan pasukannya untuk merebut bukit itu dari arah belakang. Akibatnya dapat dibayangkan. Abdullah dan anak buahnya menjadi sasaran empuk. Setelah berhasil membuat ke 10 sahabat syahid mereka membantai pasukan Muslim yang sudah cerai berai di bawah bukit. Dengan cepat keadaan menjadi berbalik. Pasukan Muslim benar-benar dibuat terperanjat. Dalam keadaan panik dan kucar kacir mereka saling bunuh karena tidak menyadari mana kawan mana lawan.
Mush’ab sebagai pemegang panji merasa yang paling bersalah. Dengan sigap dan gagah perkasa ia menyerang dan mengibaskan pedangnya kesana kemari. Ia berusaha menarik perhatian musuh agar tidak menyerang Rasulullah. Berkata Ibnu Sa’ad, “Diceritakan kepada kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-‘Abdari dari bapaknya, ia berkata :
“Mush’ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum Muslimin pecah, Mush’ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda, Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush’ab mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula. Mush’ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke dada sambil mengucapkan : “Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu untuk ketiga kalinya orang berkuda itu menyerangnya dengan tombak dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah. Mush’ab pun gugur, dan bendera jatuh.”
Mush’ab berseru demikian karena merasa tidak bakal dapat melindungi Rasulullah, sang kekasih Allah yang amat disayangi dan dihormatinya. Disamping itu ia juga ingin meyakinkan diri dan teman-teman bahwa bila Rasulullah wafat, itu bukan berarti bahwa perjuangan Islam dapat dihentikan. Ironisnya, Mush’ab sendiri syahid justru karena Qumaimah menyangka dirinya Rasulullah karena Wajah Mush’ab memang mirip dengan Rasulullah. Kemudian dengan sesumbar Qumaiah mengatakan bahwa ia telah membunuh Rasulullah.
Umar bin Khattab berkata :”Kami terpisah dari Rasulullah saat perang Uhud. Aku naik ke gunung dan aku mendengar seorang Yahudi berkata : “Muhammad mati terbunuh!”. Akupun berseru, “ Aku akan memenggal leher orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah mati terbunuh”. Setelah itu aku melihat Rasulullah dan para sahabat kembali ke tempat semula. Lalu turunlah ayat 144 surat Ali Imran.( HR. Ibnu Mundzir).
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”.(QS.Ali Imran(3):144)
Kembali ke menu daftar isi