Beliau
bisa dikatakan tabi’in, namun boleh pula dikatakan sebagai sahabat.
Hubungannya dengan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berlangsung melalui surat
menyurat. Ketika beliau wafat, Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam melakukan shalat ghaib
untuknya, shalat yang belum pernah beliau lakukan sebelumnya.
Dialah
Ashhamah bin Abjar yang dikenal dengan sebutan An-Najasyi. Marilah pada
kesempatan yang barakah ini sejenak kita telusuri kehidupan seorang
tokoh besar kaum muslimin ini.
Ayah
Ashhamah adalah raja negeri Habasyah dan tidak memiliki anak melainkan
beliau. Kondisi ini dipandang kurang baik untuk masa depan negeri itu.
Sebagian tokoh Habasyah saling berbisik: “Raja kita hanya memiliki
seorang putera. Dia hanya menyusahkan. Dia akan mewarisi tahta bila raja
wafat dan mengantar kita ke arah kebinasaan. Lebih baik kita bunuh
sang raja dan kita angkat saudaranya menjadi raja baru. Dia memiliki
duabelas putera yang membelanya semasa hidup dan menjadi pewarisnya
bila meninggal.”
Dengan
gencar setan membisiki dan memprovokasi mereka hingga mereka membunuh
rajanya dan mengangkat saudaranya untuk menggantikannya.
Kini
Ashhamah diasuh oleh pamannya. Tumbuh menjadi pemuda yang cerdas, penuh
semangat, ahli berargumen dan berkepribadian luhur. Ia menjadi andalan
pamannya dan diutamakan lebih daripada anak-anaknya sendiri.
Namun
setan kembali memprovokasi para pembesar Habasyah. Mereka kembali
berembuk. Di antara mereka berkata: “Kita khawatirkan bila kerajaan
ini jatuh ke tangan pemuda itu, pastilah dia akan membalas dendam atas
kematian ayahandanya dahulu.”
Akhirnya
mereka menghadap raja dan berkata: “Tuanku, kami tidak bisa merasa
aman dan tenteram bila Tuan belum membunuh Ashhamah atau
menyingkirkannya dari sini. Dia telah beranjak dewasa dan kami khawatir
dia akan balas dendam.”
Mendengar
permintaan tersebut raja sangat murka dan berkata: “Sejahat-jahat kaum
adalah kalian! Dahulu kalian membunuh ayahnya dan sekarang kalian
memintaku untuk membunuhnya pula. Demi Allah aku tak akan melakukannya.”
Mereka
berkata: “Kalau begitu kami akan mengasingkannya dari negeri ini.” Sang
raja tak berdaya menghadapi tekanan dan paksaan para pejabat yang jahat
itu.
Tak
lama setelah diusirnya Ashhamah tiba-tiba terjadi peristiwa yang di
luar dugaan. Badai mengamuk disertai guntur dan hujan lebat. Sebatang
pilar istana roboh menimpa sang raja yang sedang berduka akibat
kepergian keponakannya. Beberapa waktu kemudian dia wafat.
Rakyat
Habasyah berunding untuk memilih raja baru. Mereka mengharapkan salah
satu dari dua belas putera raja, namun ternyata tak ada satupun dari
mereka yang layak menduduki tahta. Mereka menjadi cemas dan gelisah,
lebih-lebih setelah mendapati bahwa negeri-negeri tetangga menunggu
kesempatan untuk menyerang. Kemudian ada salah seorang di antara mereka
berkata: “Demi Allah, tak ada yang patut menjadi pemimpin kalian
kecuali pemuda yang kalian usir itu, jika kalian memang peduli dengan
negeri Habsyah, maka carilah dia dan pulangkanlah dia.
Merekapun
bergegas mencari Ashhamah dan membawanya pulang ke negerinya. Lalu
mereka meletakkan mahkota di atas kepalanya dan membai’atnya sebagai
raja. Mereka memanggilnya dengan Najasyi. Dia memimpin negeri secara
baik dan adil. Kini Habasyah diliputi kebaikan dan keadilan setelah
sebelumnya didominasi oleh kezhaliman dan kejahatan.
Saat
yang bersamaan dengan naiknya Najasyi menduduki tahta di Habsyah, di
tempat lain Allah Subhanahu wa ta'ala mengutus Nabi-Nya, Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam untuk membawa
agama yang penuh hidayah dan kebenaran, satu per satu assabiqunal-awwalun memeluk agama ini.
Orang-orang
Quraisy mulai mengganggu dan menganiaya mereka. Ketika Makkah sudah
terasa sesak bagi kaum muslimin karena gencarnya tekanan-tekanan
musyrikin Quraisy, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam bersabda: “Di negeri Habasyah
bertahta seorang raja yang tidak suka berlaku zhalim terhadap sesama.
Pergilah kalian kesana dan berlindunglah di dalam pemerintahannya
sampai Allah Subhanahu wa ta'ala membukakan jalan keluar dan membebaskan kalian dari
kesulitan ini.“
Maka,
berangkatlah rombongan muhajirin pertama dalam Islam yang berjumlah
sekitar 80 orang ke Habasyah. Di negeri baru itu, mereka mendapatkan
ketenangan dan rasa aman, bebas menikmati manisnya takwa dan ibadah
tanpa gangguan.
Akan
tetapi, pihak Quraisy tidak tinggal diam setelah mengetahui bahwa kaum
muslimin bisa hidup tenang di Habasyah. Mereka segera berunding menyusun
makar untuk menghabisi kaum muhajirin atau menarik mereka kembali ke
Makkah.
Mereka
mengirimkan dua orang utusannya kepada Najasyi di Habasyah. Keduanya
orang pilihan dan pandai berdiplomasi, yaitu Amru bin Ash dan Abdullah
bin Abi Rabi’ah. Mereka berangkat dengan membawa hadiah-hadiah dalam
jumlah besar untuk Najasyi dan para pejabat tinggi Habasyah yang dikenal
menyukai barang-barang dari Makkah.
Sesampainya
di Habasyah, keduanya terlebih dahulu menjumpai para pejabat sambil
menyuap mereka dengan hadiah-hadiah yang dibawa. Keduanya berkata: “Di
negeri Anda telah tinggal sejumlah pengacau dari kota kami. Mereka
keluar dari agama nenek moyang dan memecah belah persatuan kami. Maka
nanti jika kami menghadap Najasyi dan membicarakan masalah ini, kami
mohon Anda semua mendukung kata-kata kami untuk menentang agama mereka
tanpa bertanya. Kami adalah kaum mereka. Kami lebih mengenal siapakah
mereka dan mengharapkan agar kalian sudi menyerahkan mereka kepada
kami.”
Setelah
memilih saat yang tepat, Amru bin Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah
menghadap Najasyi. Mereka terlebih dahulu sujud menyembah seperti yang
biasa dilakukan orang-orang Habsyi. Najasyi menyambut keduanya dengan
baik karena sebelumnya telah kenal dengan Amru bin Ash. Kemudian tokoh
Quraisy itu memberikan hadiah-hadiah yang indah disertai titipan
salam dari para pemuka Quraisy yang dipimpin oleh Abu Sufyan.
Raja
Najasyi menghargai hadiah-hadiah pemberian mereka. Kemudian Amru mulai
bicara: “Tuan, telah tiba di negeri Anda beberapa orang pengacau dari
kaum kami. Mereka telah keluar dari agama kami dan tidak pula menganut
agama Anda. Mereka mengikuti agama baru yang kami tidak mengenalnya
begitu pula Anda. Kami berdua diutus oleh pemimpin kaum kami untuk
meminta agar Tuanku mengembalikan mereka kepada kaumnya. Karena
kaumnyalah yang lebih tahu apa yang diakibatkan oleh agama yang baru
itu, berupa fitnah dan kekacauan yang mereka timbulkan.”
Najasyi
menoleh kepada para penasihat istana dan meminta pendapat mereka.
Mereka berkata: “Benar Tuanku, kita tidak tahu tentang agama baru itu
dan tentunya kaum mereka lebih paham akan hal itu daripada kita.”
Najasyi berkata: “Tidak, Demi Allah aku tidak akan menyerahkan mereka
kepada siapapun sebelum mendengarkan keterangan mereka sendiri dan
mencari tahu tentang kepercayaan mereka. Bila mereka dalam kejahatan,
maka aku tidak keberatan untuk menyerahkan kepada kalian. Tetapi kalau
mereka dalam kebenaran, maka aku akan melindungi dan memelihara mereka
selama mereka ingin tinggal di negeri ini. Demi Allah, aku tidak akan
melupakan karunia Allah Subhanahu wa ta'ala kepada diriku yang telah mengembalikan
aku ke negeri ini karena ulah orang-orang yang keji.”
Kaum
muslimin yang hijrah itupun dipanggil Najasyi ke istana. Mereka menjadi
bertanya-tanya, lalu saling bertukar pikiran sebelum berangkat. Di
antara mereka ada yang berkata: “Apa jawaban kita nanti jika ditanya
tentang agama kita?”
Yang
lain menjawab: “Kita katakan saja apa yang difirmankan Allah dalam
kitab-Nya dan kita jelaskan apa-apa yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
tentang Rabb-nya.”
Berangkatlah
mereka menuju istana. Di sana mereka melihat Amru bin Ash dan Abdullah
bin Abi Rabi’ah, sementara uskup-uskup Najasyi duduk berkeliling dengan
pakaian kebesaran mereka dengan kitab-kitab yang terbuka di tangan. Kaum
muslimin duduk di tempat yang telah disediakan setelah memberi salam
secara Islam.
Amru
bin Ash menoleh kepada mereka dan bertanya: “Mengapa kalian tidak sujud
kepada raja?” Merekapun menjawab: “Kami tidak sujud kecuali kepada
Allah Subhanahu wa ta'ala ”
Najasyi
menggeleng-gelengkan kepala karena kagum dengan jawaban itu. Dia
memperhatikan mereka dengan pandangan simpati, lalu berkata: “Apa
sebenarnya agama yang kalian anut? Kalian meninggalkan agama nenek
moyang kalian dan tidak pula mengikuti agama kami.”
Setelah
memohon ijin, Ja’far menjawab: “Wahai Raja, sesungguhnya kami sama
sekali tidak menciptakan agama baru. Tetapi Muhammad bin Abdullah telah
diutus oleh Rabb-nya untuk menyebarkan agama dan petunjuk yang benar
serta mengeluarkan kami dari kegelapan menuju terang benderang. Pada
awalnya kami adalah kaum yang hidup dalam kebodohan. Kami menyembah
api, memutuskan hubungan keluarga, memakan bangkai, berlaku zhalim,
tidak menyayangi tetangga dan yang kuat selalu menekan yang lemah.
Dalam kondisi demikian, Allah Subhanahu wa ta'ala mengutus rasul yang kami ketahui
asal-usulnya, kami percayai kejujuran, amanah dan kesuciannya untuk
menyeru kami kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan mengajak kami melakukan ibadah dan
mengesakan-Nya. Dia memerintahkan agar kami menegakkan shalat,
membayar zakat, shiyam pada bulan Ramadhan dan meninggalkan penyembahan
terhadap berhala dan batu-batu. Beliau memerintahkan kepada kami agar
senantiasa jujur dalam berbicara, menunaikan amanah, menyambung
persaudaraan, berbuat baik kepada tetangga, menjauhi yang haram, dan
menghargai darah. Beliau melarang kami berzina, bersaksi palsu dan
memakan harta anak yatim. Maka kami beriman dan mengikuti risalahnya
serta menjalankan apa yang beliau bawa.
Sekarang,
kami hanya beribadah kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya,
mengharamkan apa-apa yang diharamkan bagi kami dan menghalalkan apa-apa
yang dihalalkan. Tetapi kaum kami memusuhi dan menyiksa kami agar kami
kembali kepada agama nenek moyang, agar kami kembali menyembah
patung-patung berhala setelah menyembah Allah Subhanahu wa ta'ala. Karena mereka
berlaku zhalim dan menghalangi kami menjalankan agama, kami lari kemari
untuk mencari tempat berlindung. Kami memilih negeri Anda dengan
harapan tidak mendapatkan perlakuan yang zhalim disini.”
Najasyi
bertanya kepada Ja’far bin Abi Thalib: “Apakah kalian membawa sesuatu
yang dibawa oleh Nabi itu tentang Rabb-nya?” Beliau menjawab: “Ya,
ada.” Najasyi berkata: “Tolong bacakan untuk kami.”
Lalu Ja’far membacakan surat Maryam:
“Dan
ceritakanlah (kisah) Maryam di dalam Al Qur’an, yaitu ketika ia
menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur, maka
ia mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami
mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam
bentuk) manusia yang sempurna. Maryam berkata: “Sesungguhnya aku
berlindung daripadamu kepada Rabb- Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang
yang bertakwa”. Ia (Jibril) berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah
seorang utusan Rabb-mu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang
suci”. Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak
laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku
bukan (pula) seorang pezina!” Jibril berkata: “Demikianlah . Rabb-mu
berfirman: “Hal itu adalah mudah bagi-Ku; dan agar dapat Kami
menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan
hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan.” Maka Maryam
mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke
tempat yang jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia
(bersandar) pada pangkal pohon kurma, ia berkata: “Aduhai, alangkah
baiknya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi sesuatu yang tidak
berarti, lagi dilupakan”. Maka Jibril menyerunya dari tempat yang
rendah: “Janganlah kamu bersedih hati, sesungguhnya Rabb-mu telah
menjadikan anak sungai di bawahmu.” (QS Maryam 16-24)
Tampaklah
Najasyi menangis terharu mendengarnya, demikian pula uskup-uskup yang
hadir di situ hingga kitab-kitab mereka basah oleh tetesan air mata.
Najasyi
berkata kepada utusan Quraisy tersebut: “Apa yang mereka bacakan
kepada kami dan apa yang dibawa oleh Isa As berasal dari sumber yang
sama. Demi Allah, aku tidak akan menyerahkan mereka sama sekali kepada
kalian selama aku masih hidup.” Kemudian dia bangkit dari singgasananya
dan pertemuan itupun dibubarkan.
Maka
keluarlah Amru bin Ash dengan gusar. Ia berkata kepada kawannya: “Demi
Allah, Aku akan menghadap Najasyi lagi besok. Akan aku katakan sesuatu
yang bisa membangkitkan amarahnya sampai ke dasar hatinya sehingga dia
menghabisi mereka.” Abdullah bin Abi Rabi’ah yang lebih lunak sikapnya
berusaha mencegah: “Janganlah engkau melakukannya wahai Amru!
Bagaimanapun mereka masih sanak famili kita meskipun berbeda paham
dengan kita.”
Namun
Amru berkata: “Demi Allah aku akan katakan bahwa mereka telah
menyebutkan sesuatu yang buruk tentang Isa bin Maryam, mereka
menyembunyikan sesuatu, mereka telah menuduh Isa dan mengatakan bahwa
Isa hanyalah seorang hamba.”
Sesuai
yang direncanakan, esok harinya Amru bin Ash menghadap kepada Najasyi
dan berkata: “Tuanku, kemarin mereka telah menguraikan sesuatu tetapi
menyembunyikan banyak hal lainnya. Mereka juga mengatakan bahwa Isa
adalah hamba.”
Kaum muslimin kembali dipanggil ke istana. Mereka ditanya: “Apa yang kalian katakan tentang Isa bin Maryam?”
Ja’far
menjawab: “Kami mengatakan sebagaimana yang dikatakan oleh Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam” Najasyi berkata: “Bagaimana kata-katanya?” Ja’far menjawab:
“Beliau berkata bahwa Isa adalah hamba dan utusan Allah. Dia merupakan
Kalimatullah yang diletakkan pada diri Maryam, seorang perawan suci.”
Najasyi
berkata: “Demi Allah, tidak ada pendapat kalian yang salah tentang Isa
As seujung rambutpun.” Terdengar bisikan-bisikan para uskup yang
terkesan mengingkarinya. Najasyi memandang mereka dengan tajam lalu
berkata tegas: “Aku tidak peduli dengan apa yang kalian bisikkan.”
Beliau berkata kepada Ja’far dan kawan-kawannya: “Kalian boleh tinggal
dengan aman di negeriku. Barangsiapa berani mengganggu kalian akan aku
tindak dengan tegas. Aku tidak sudi disuap dengan segunung emas untuk
mengganggu seorangpun di antara kalian.”
Beliau
perintahkan kepada pengawalnya: “Kembalikan hadiah-hadiah dari Amru bin
Ash dan kawannya itu. Aku tidak membutuhkannya. Allah tidak
menerima suap dariku ketika aku dikembalikan ke negeriku, untuk apa aku
menerima suap dari mereka ini?”
Negeri
Habasyah bergolak. Para uskup yang tidak puas dengan keputusan itu
menyebarkan isu bahwa Najasyi telah meninggalkan agamanya dan mengikuti
agama baru. Mereka juga menghasut rakyat agar menggulingkan rajanya.
Beberapa lama rakyat Habasyah digoncangkan oleh dilema besar tersebut.
Bahkan beberapa orang ingin membatalkan bai’atnya kepada Najasyi.
Melihat
hal itu, Najasyi mengabarkan situasi negeri kepada Ja’far bin Abi
Thalib dan menyerahkan dua buah kapal. Setelah siap menghadapi para
pembangkang, dikatakannya kepada kaum muslimin: “Naiklah kalian ke kapal
itu, amati perkembangannya. Bila aku kalah, pergilah kemana kalian
suka. Tapi kalau aku menang, kalian boleh kembali dalam perlindungan
seperti semula.”
Selanjutnya
Najasyi mengambil sehelai kulit kijang dan menuliskan di atasnya: “Aku
bersaksi bahwa tidak ada ilah kecuali Allah dan Muhammad adalah hamba
dan utusan-Nya yang terakhir. Dan aku bersaksi bahwa Isa adalah
hamba-Nya dan utusan-Nya, ruh-Nya dan Kalimat-Nya yang ditiupkan kepada
Maryam.” Dipakainya tulisan itu di dada, kemudian dia mengenakan pakaian
perangnya dan pergi bersama para prajuritnya.
Berdirilah
Najasyi menghadapi para penentang-penentangnya. Dia berkata: “Wahai
rakyat Habasyah, katakanlah, bagaimana perlakuanku terhadap kalian?”
Mereka menjawab: “Sangat baik, Tuanku.” Najasyi berkata: “Lalu mengapa
kalian menentangku?”
Mereka
berkata: “Karena Anda telah keluar dari agama kita dan mengatakan
bahwa Isa adalah seorang hamba.” Najasyi berkata: “Bagaimana menurut
kalian sendiri?” Mereka menjawab: “Dia adalah putera Allah.”
Maka
Najasyi mengeluarkan tulisan yang dipakainya di dada, diletakkan di
atas meja dan berkata: “Aku bersaksi bahwa Isa bin Maryam tidaklah lebih
dari yang tertulis disini.” Di luar dugaan, ternyata rakyat menerima
dengan senang pernyataan Najasyi. Mereka membubarkan diri dengan lega.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam semakin percaya kepada Najasyi. Penghargaan Najasyi terhadap
Muhajirin yang datang ke negerinya dan membuat mereka aman dalam
perlindungannya, menggembirakan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam Apalagi setelah mendengar
kecondongannya kepada Islam dan keyakinannya akan kebenaran Al-Qur’an.
Hubungan Najasyi dengan Rasululah Shallallahu Alaihi Wassalam semakin erat.
Memasuki
tahun baru 7 Hijriyah, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berkehendak untuk berdakwah
kepada enam orang pemimpin negeri tetangga agar mau masuk agama Islam.
Beliau menulis untuk mengingatkan mereka akan iman, dan menasihatkan
tentang bahaya syirik dan kekufuran. Maka beliau menyiapkan enam orang
sahabat. Terlebih dulu mereka mempelajari bahasa kaum yang hendak
didatangi agar dapat menyelesaikan tugas dengan sempurna. Setelah
siap, keenam sahabat tersebut berangkat pada hari yang sama. Di antara
mereka ada Amru bin Umayah Adh-Dhamari yang diutus kepada Najasyi di
negeri Habasyah.
Sampailah
Amru bin Umayah Adh-Dhamari di hadapan Najasyi. Dia memberi salam
secara Islam dan Najasyi menjawabnya dengan lebih indah serta
menyambutnya dengan baik.
Setelah
dipersilakan duduk di majelis Habasyah, Amru bin Umayah memberikan
surat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam kepada Najasyi dan langsung dibacanya. Di
dalamnya tertulis ajakan kepada Islam, disertai beberapa ayat
Al-Qur’an. Najasyi menempelkan surat itu di kepala dan matanya dengan
penuh hormat. Setelah itu dia turun dari singgasana dan menyatakan
keislamannya di depan hadirin. Selesai mengucapkan syahadat, dia
berkata: “Kalau saja aku mampu untuk mendatangi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam, niscaya
aku akan duduk di hadapan beliau dan membasuh kedua kakinya.” Kemudian
beliau menulis surat jawaban pendek kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam berisi
pernyataan menerima dakwahnya dan keimanan atas nubuwatnya.
Selanjutnya
Amru bin Umayah menyodorkan surat Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam yang kedua. Dalam surat
itu Rasulullah minta agar Najasyi bertindak sebagai wakil untuk
pernikahan beliau dengan Ramlah binti Abi Sufyan yang termasuk rombongan
Muhajirin ke Habasyah.
Sedangkan
Ramlah yang biasa dipanggil Ummu Habibah itu, memiliki liku-liku hidup
yang berakhir dengan kebahagiaan. Meski sepintas, marilah kita simak
perjalanannya.
Ramlah
binti Abi Sufyan adalah salah satu penentang kepercayaan ayahnya sang
pemuka Quraisy itu. Dia menyatakan keimanannya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dan
rasul-Nya bersama suaminya Ubaidullah bin Jahsy. Oleh karena itu
pasangan suami istri ini termasuk yang mendapat gangguan dari
orang-orang Quraisy.
Keduanya
ikut dalam rombongan Muhajirin yang berlindung kepada Najasyi di
Habasyah demi mempertahankan Dienullah. Seperti telah disaksikan, para
Muhajirin itu mendapat pelayanan yang baik dan jaminan keamanan dari
Najasyi, sehingga terbayang dalam angan Ummu Habibah bahwa semua
deritanya akan segera berlalu. Dia tidak tahu apa yang disembunyikan
takdir untuknya.
Allah Subhanahu wa ta'ala berkehendak menguji Ummu Habibah dengan ujian berat yang mampu
menggoncangkan akal. Tidak disangka, Ubaidullah bin Jahsy menjadi
murtad. Dia masuk agama Nasrani dan berbalik memusuhi Islam serta kaum
muslimin. Pekerjaannya hanya duduk-duduk di tempat maksiat dan menjadi
pemabuk berat. Bahkan dia memberikan tawaran kepada Ummu Habibah, ikut
agama Masehi seperti dirinya atau diceraikan.
Di
hadapan Ummu Habibah ada tiga pilihan yang sulit. Pertama, mengikuti
suami dan menjadi seorang Nasrani, yang dengan demikian dia akan
dikutuk dunia dan akhirat. Kedua, kembali kepada ayahnya di Makkah yang
masih hidup dalam kemusyrikan. Dan ketiga, tetap di Habasyah, seorang
diri dalam pengasingan bersama puterinya, Habibah.
Akhirnya
beliau mengutamakan ridha Allah Subhanahu wa ta'ala di atas segala masalah dan
bertekad tetap tinggal di Habasyah bersama Muhajirin lainnya sampai
Allah Subhanahu wa ta'ala menunjukkan jalan keluar.
Tak
berselang lama beliau merasakan duka cita, suaminya mati dalam keadaan
mabuk. Setelah masa iddahnya habis, datanglah pertolongan Allah
untuknya.
Pagi
itu amat cerah, saat terdengar suara ketukan di pintu rumah Ummu
Habibah. Ketika dibuka, seorang wanita utusan Najasyi memberi salam dan
berkata: “Tuanku Najasyi mengirimkan salamnya untuk Anda dan berpesan
bahwa Muhammad Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah meminang Anda. Baginda Najasyi
ditunjuk sebagai wakil untuk akad nikah. Maka bila Anda menerima
pinangan itu, bersiaplah segera siapa yang Anda tunjuk sebagai wali.”
Betapa
tidak terukur kebahagiaan Ummu Habibah. Beliau berkata kepada utusan
tersebut: “Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dari Allah, Semoga Anda
mendapatkan kebahagiaan dari Allah,” Kemudian Ummu Habibah berkata: “Aku
menunjuk Khalid bin Sa’id bin Ash sebagai waliku karena dialah
kerabatku yang terdekat di negeri ini.”
Begitulah,
hari itu istana Najasyi tampak semarak. Seluruh sahabat yang ada di
Habasyah hadir untuk menyaksikan pernikahan Ummu Habibah dengan
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam. Setelah segalanya siap, Najasyi mengucapkan tahmid
dan berkata: “Amma ba’du, saya penuhi permintaan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam untuk
menikah dengan Ramlah binti Abi Sufyan. Dan saya berikan mahar sebagai
wakil Rasulullah berupa empat ratus dinar emas berdasarkan sunnatullah
dan sunnah Rasul-Nya.”
Khalid
bin Sa’id bin Ash sebagai wali Ummu Habibah berkata: “Saya terima
permintaan Rasulullah dan saya nikahkan Ramlah binti Abi Sufyan yang
memberi saya wakalah dengan Rasulullah. Semoga Allah Subhanahu wa ta'ala memberkahi
rasul dan istrinya. “ Selamat atas Ramlah dengan anugerah yang agung
tersebut.
Kemudian,
Najasyi mempersiapkan dua buah kapal untuk mengantarkan Ummul
mukminin Ramlah binti Abi Sufyan dan puterinya, Habibah beserta
sisa-sisa kaum muslimin yang ada di Habasyah. Sejumlah rakyat Habsyi
yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya turut bersama mereka. Mereka
rindu untuk berjumpa langsung dengan Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam dan shalat di belakang
beliau. Rombongan tersebut dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib.
Najasyi
juga memberikan hadiah-hadiah kepada Ummu Habibah berupa wewangian
mahal milik istri-istrinya, juga beberapa bingkisan untuk Rasulullah, di
antaranya ada tiga batang tongkat Habasyah yang terbuat dari kayu-kayu
pilihan. Di kemudian hari, satu tongkat itu dipakai oleh beliau sendiri,
dan yang lain dihadiahkan kepada Umar bin Khathab dan Ali bin Abi
Thalib. Bilal selalu membawanya bila berjalan di muka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam.
Tongkat tersebut juga biasa didirikan di hadapan Nabi (sebagai sutrah)
ketika ditegakkan shalat. Yakni tatkala tempat-tempat yang tidak ada
masjid atau bangunan lainnya atau di dalam perjalanan, dalam
shalat-shalat ‘Ied dan shalat istisqa’. Pada masa khilafah Abu Bakar
Ash-Shiddiq, Bilal adalah yang memegang tongkat itu. Lalu pada zaman
Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan, tongkat tersebut beralih ke
tangan Sa’ad Al-Qarazhi. Begitu seterusnya berganti setiap pergantian
khalifah.
Ada
juga hadiah perhiasan-perhiasan, di antaranya ada cincin emas. Nabi Shallallahu Alaihi Wassalam menerimanya tetapi tidak dipakai sendiri melainkan diberikan
kepada Umamah, cucu dari puteri beliau, Zaenab: “Pakailah ini wahai
cucuku. “
Tidak
berselang lama sebelum Fathu Makkah, Najasyi wafat, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam
memanggil para sahabat untuk melakukan shalat ghaib. Padahal Rasul Shallallahu Alaihi Wassalam
belum pernah shalat ghaib sebelum wafatnya dan tidak pula setelahnya.
Semoga Allah meridhai Najasyi dan menjadikan Jannah-Nya yang kekal
sebagai tempat kembalinya. Sungguh dia telah menguatkan kaum muslimin
di saat mereka lemah, memberikan rasa aman di saat mereka ketakutan
dan dia melakukan hal itu semata-mata karena mencari ridha Allah
Sumber: Pustaka At Tibyan, Solo, Jejak Tabi’in